Fasilitas Sekolah


MODUL 1
PILAR 1 - FASILITAS SEKOLAH AMAN


BIRO PERENCANAAN DAN KERJASAMA LUAR NEGERI
SEKRETARIAT JENDERAL KEMENDIKBUD
JAKARTA, 2015


Disusun oleh:
Gogot Suharwoto
Nurwin
Nur’amiaty TD
Rubadi Supatma
Dirhamsyah
Rudianto
Endang Dwi Jayanti
Adinanto Mahulae
Anwar Taufik
Desi Elvera
Inu Kertapati
Kartika Paramitha S
Nandana Bhaswara
M.Elli .S
Diana Sari
Nur Hidayati
Indah Meiwanty
Erita Nurhalim (World Bank)
Ida Ngurah (Plan Indonesia)
Jamjam Muzaki (Kerlip)
Maharani Hardjoko (UNICEF)
Yusra Tebe (Plan Indonesia)



Disusun atas kerjasama dengan






KATA PENGANTAR


Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki wilayah yang rentan terhadap bencana termasuk gempa dan tsunami. Salah satu dampak dari gempa dan tsunami yang terjadi di Indonesia adalah kerusakan sarana dan prasarana bangunan, termasuk bangunan sekolah, yang mengakibatkan terganggunya proses pembelajaran siswa di sekolah. Lebih dari 7.000 sekolah rusak berat akibat gempa dan tsunami sejak tahun 2004.

Dampak tersebut akan lebih parah jika bencana terjadi pada saat proses belajar-mengajar sedang berlangsung di sekolah, karena reruntuhan bangunan dan benda sekitarnya dapat menimpa dan atau menimbun peserta didik, guru maupun tenaga kependidikan lainnya. Oleh karena itu, diperlukan sekolah yang dapat menjamin keamanan dan keselamatan warga sekolah siaga setiap saat termasuk dari ancaman bencana.

Sejalan dengan semangat untuk melindungi hak-hak anak atas perlindungan, keamanan dan kelangsungan hidup dan juga hak untuk mendapatkan pendidikan dasar yang berkualitas dan berkesinambungan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bermaksud untuk dapat menyebarkan pengetahuan mengenai pengurangan risiko bencana berikut fasilitas sekolah yang aman dan manajemen bencana di sekolah melalui guru maupun fasilitator, salah satunya dengan menyusun modul-modul yang dapat menjadi referensi para guru.

Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan memetakan Perka BNPB No. 4 tahun 2012 tentang Pedoman Penerapan Sekolah/Madrasah Aman Bencana terhadap Kerangka Kerja Sekolah Aman yang Komprehensif, di mana Kerangka Kerja ini dengan tiga pilarnya sudah disepakati oleh dunia internasional, khususnya UNISDR.

Selanjutnya dilakukan penelaahan materi yang berasal dari berbagai sumber, baik dari Kementerian/ Lembaga (Kemendikbud, BNPB, dan KemenPU), organisasi/ lembaga (ChildFund, INEE, Konsorsium Pendidikan Bencana, MDMC, Plan Indonesia, Save the Children, World Bank, dan World Vision), serta lembaga PBB (UNDP – SCDRR Project, UNESCO, dan UNICEF), dan setelah dikompilasi dan dianalisa, materi-materi ini disusun dan dibagi menjadi tiga modul yang mengacu pada Kerangka Kerja Sekolah Aman yang Komprehensif:
  • Modul 1 – Pilar 1: Fasilitas Sekolah Aman
  • Modul 2 – Pilar 2: Manajemen Bencana di Sekolah
  • Modul 3 – Pilar 3: Pendidikan Pencegahan dan Pengurangan Risiko Bencana

Penyusunan modul-modul referensi ini merupakan hasil kerjasama antara Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri dengan UNICEF Indonesia dalam Program Pengurangan Risiko Bencana yang bertujuan untuk membangun masyarakat yang aman dari ancaman bencana melalui berbagai upaya pengurangan risiko bencana.

Diharapkan modul-modul referensi tersebut dapat menjadi pembelajaran berharga bagi berbagai pihak dalam penerapan dan pengembangan Konsep Sekolah Aman ke depan.

Jakarta, … Maret 2015
Kepala Biro Perencanaan dan KLN



Ananto Kusuma Seta
196012201985031004















DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 3




DAFTAR ISI 4




BAB I – PENDAHULUAN 5


Latar Belakang
5


Maksud dan Tujuan
8


Dasar Hukum
8


Kerangka Kerja Sekolah Aman
9





BAB II – PILAR 1 - FASILITAS SEKOLAH AMAN 14
1.
Sub-Pilar 1: Pemilihan lokasi
16
2. Sub-Pilar 2: Standar Bangunan 17
3. Sub-Pilar 3: Standar Kinerja (Performance Standard) 30
4. Sub Pilar 4: Desain yang Tahan Terhadap Bencana (Disaster Resilience Design) 31
5. Sub-Pilar 5: Pelatihan bagi Pembuat Bangunan 32
6. Sub-Pilar 6: Pengawasan Konstruksi 35
7.
Sub pilar 7: Kontrol terhadap Kualitas
37
8.
Sub Pilar 8: Pemodelan Ulang (Remodelling) atau Renovasi
38
9. Sub Pilar 9: Perkuatan (Retrofitting) 38
IRISAN PILAR 1 DAN PILAR 2
41
1. Perawatan Gedung atau Pemeliharaan Bangunan 41
2.
Mitigasi Non-Struktural
43
3.
Keselamatan dari Kebakaran
44
IRISAN PILAR 1 DAN PILAR 3
46
1. Pendidikan akan keamanan struktural 46
2.
Konstruksi sebagai Peluang Pembelajaran
46





BAB III – INDIKATOR KETERCAPAIAN (STANDAR) 48




BAB I
PENDAHULUAN


Latar Belakang
Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau, di mana 6.000 pulau di antaranya tidak berpenghuni, dan terletak di Asia Tenggara di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia memiliki luas keseluruhan sebesar 5.180.053 km2, yang terdiri dari daratan seluas 1.922.570 km2 (37,1%) dan lautan seluas 3.257.483 km2 (62,9%) dengan garis pantai sepanjang 81.000 km.

Secara geografis, Indonesia terletak di rangkaian lempeng tektonik: Australasia, Pasifik, Eurasia dan Filipina yang membuat Indonesia menjadi rentan terhadap perubahan geologis. Hasil pertemuan tiga lempeng ini dihasilkan lempeng tektonik (garis merah) yang merupakan gempa bumi dan deretan gunung api. Terdapat 129 gunung api aktif yang ada di Indonesia, yang saat ini dimonitor oleh Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (ESDM). Untuk lempeng tektonik dimonitor oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang secepatnya akan memberikan informasi mengenai gempa bumi dan tsunami. Kekayaan Indonesia dengan beragam gunung berapi sekaligus dapat menjadi ancaman bencana gunung meletus. Selain itu, terdapat 5.590 daerah aliran sungai (DAS) yang terletak antara Sabang dan Merauke juga telah berkontribusi membantu membentuk Indonesia.


Iklim Indonesia sangat dipengaruhi oleh lokasi dan karakteristik geografis. Membentang di 6.400 km antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, Indonesia memiliki 3 pola iklim dasar: monsunal1, khatulistiwa dan sistem iklim lokal. Hal ini telah menyebabkan perbedaan dramatis dalam pola curah hujan di Indonesia.

Karena posisi geografis dan lokasinya yang berada di rangkaian lempeng tektonik: Australasia, Pasifik, Eurasia dan Filipina, maka pergerakannya dapat menimbulkan bencana gempa bumi atau tanah longsong, gempa bumi dengan kekuatan tertentu dan di lokasi tertentu dapat diikuti dengan bencana tsunami dan banjir. Gempa bumi yang terjadi di Aceh pada tahun 2004 telah menyebabkan tsunami yang berdampak luas dan mengakibatkan korban jiwa lebih dari 230.000 di lebih dari 14 negara.

Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), dalam kurun waktu lebih dari 30 tahun terakhir (1982-2014) terjadi 13.729 kejadian bencana, yang didominasi oleh banjir dan diikuti oleh tanah longsor, angin kencang, kekeringan dan bencana lain. Namun bencana yang paling banyak memakan korban adalah bencana gempa bumi yang diikuti oleh tsunami (mengakibatkan 174.101 orang meninggal), gempa bumi (15.250 orang meninggal), banjir dan tanah longsor (7.555 orang meninggal) dan bencana lain (28.603 jiwa)2. Data-data terakhir yang berhasil direkam juga menunjukkan bahwa rata-rata setiap tehun terjadi sepuluh kegiatan gempa bumi yang mengakibatkan kerusakan yang cukup besar di Indonesia. Sebagian terjadi pada daerah lepas pantai dan sebagian lagi pada daerah pemukiman (untuk melihat kejadian gempa bumi pada hari ini klik di sini atau http://geofon.gfz-potsdam.de/eqinfo/seismon/globmon.php).

Kondisi yang kompleks dan menantang ini diperumit lagi oleh dampak perubahan iklim. Perubahan iklim akan terus memberikan dampak yang cukup besar bagi intervensi program kemanusiaan dan program pengembangan, dan akan terus memberikan tantangan bagi pengembangan dan penyelenggaraan sektor pendidikan.

Selain kehilangan jiwa, juga banyak aset yang mengalami kerusakan, di antaranya gedung-gedung pelayanan publik yang pada akhirnya kerusakan ini akan mengganggu kehidupan keseharian. Di antara gedung pelayanan publik yang ada, bangunan pelayanan dasar seperti gedung sekolah dan gedung yang terkait dengan kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, pustu, posyandu adalah fasilitas sosial yang di dalamnya terdapat kumpulan manusia yang perlu diprioritaskan. Terkait dengan rusaknya bangunan sekolah, antara lain gempa bumi dan tsunami di Aceh pada tahun 2004 telah menghancurkan 2.000 sekolah; gempa bumi di Sumatera Barat (2007 dan 2009) telah menghancurkan 2.800 sekolah; gempa bumi di Jawa Barat (2009) merusakkan 35 sekolah, gempa bumi di Mentawai (2010) menghancurkan 7 sekolah, sedangkan gempa bumi di Lombok Utara (2013) merusakkan 30 sekolah, di antaranya sampai akhir 2014 masih ada bangunan yang belum diperbaiki; gempa bumi di Aceh Tengah dan Bener Meriah (2013) telah merusakan 314 sekolah yang terdiri dari 16 SMA, 31 SMP, 129 SD dan 138 TK. Kebanyakan dari kejadian bencana tersebut di luar jam sekolah sehingga tidak menimbulkan korban meninggal, kecuali di Padang, Sumatera Barat pada tahun 2009 di mana banyak siswa yang terluka dan ada yang meninggal. Sebagai ilustrasi, kejadian gempa di China, Provinsi Sechuan pada tahun 2008 telah memakan korban 156 meninggal dan 6.000 orang terluka, di antaranya banyak siswa yang meninggal. Hal ini ditambah dengan kebijakan pemerintah China yang memberlakukan “one child policy”, sehingga banyak keluarga yang dapat kehilangan satu generasi.

Bangunan sekolah yang tidak tahan bencana sangat rentan dari segi keamanan, bukan saja mengancam jiwa anak-anak, tapi kerusakan atau kehancuran prasarana fisik ini merupakan kehilangan aset ekonomi bagi negara; biaya untuk membangun ulang atau memperbaiki akan memerluan biaya yang besar sehingga dapat mengganggu keuangan negara dan perekonomian secara umum. Seperti disorot oleh World Bank dalam Education Note tentang bangunan sekolah.

Upaya Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam empat tahun terakhir adalah dengan telah mendata secara menyeluruh kondisi sekolah di Indonesia dalam kategori rusak berat, rusak sedang, rusak ringan dan rusak total, yang kemudian ditindaklanjuti dengan melaksanakan perbaikan sebagian besar dari sekolah tersebut, namun sekolah baru terus akan dibangun, sekolah yang tadinya rusak ringan dalam beberapa tahun dapat menjadi rusak berat, sehingga dengan demikian kondisi sekolah akan berevolusi. Sangat disayangkan bila dalam pembangunan sekolah unsur-unsur yang menunjang penerapan sekolah aman secara struktural kurang diperhatikan, oleh karena itu rehabilitasi, perbaikan dan pembangunan gedung sekolah baru perlu menerapkan prinsip-prinsip sekolah aman. Teknologi “retrofitting” atau ‘perkuatan’ juga dapat diterapkan sehingga bangunan sekolah yang rusak berat tidak selalu harus dihancurkan sebelum diperbaiki tapi dapat langsung diperkuat sehingga dapat meminimalkan biaya.

Selain itu, pendekatan konstruksi dan perkuatan (retrofit) sekolah yang lebih aman yang melibatkan masyarakat luas dalam memadukan pengetahuan baru dan keterampilan pencegahan bencana dapat berdampak lebih luas dari sekolah itu sendiri. Pendekatan sekolah aman dapat menjadi model konstruksi dan peningkatan tingkat keamanan untuk pembangunan rumah penduduk, pusat kesehatan masyarakat, dan bangunan umum lainnya.

Sekolah-sekolah juga seringkali menjadi tempat penghubung dan tempat belajar bagi seluruh masyarakat. Anak-anak merupakan peserta didik yang paling cepat menerima suatu pengetahuan. Mereka tidak hanya mampu memadukan pengetahuan baru ke dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga menjadi sumber inspirasi bagi keluarga dan masyarakat di lingkungannnya dalam hal perilaku yang sehat dan aman, yang mereka dapatkan di sekolah.

Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki tanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Perlindungan kepada warga negara dari risiko bencana dan mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan bagian dari tujuan negara yang sangat mulia.
Dan terkait dengan upaya untuk melindungi warga negaranya terhadap bencana, Pemerintah Indonesia telah memberlakukan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. UU tersebut secara jelas menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan keterampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, baik dalam situasi tidak terjadi bencana maupun situasi terdapat potensi bencana. Melalui pendidikan diharapkan agar upaya pengurangan risiko bencana dapat mencapai sasaran yang lebih luas dan dapat diperkenalkan secara lebih dini kepada seluruh peserta didik, dengan mengintegrasikan pendidikan pengurangan risiko bencana ke dalam kurikulum sekolah maupun ke dalam kegiatan ekstrakurikular. Selain itu, juga menerapkan prinsip-prinsip sekolah aman dalam program pembangunan sekolah baru atau rehabilitasi bangunan sekolah secara berkesinambungan dan mengikuti perkembangan kemajuan teknologi pembangunan gedung dan disesuaikan dengan kondisi setempat.

Maksud dan Tujuan

a. Maksud
Sejalan dengan semangat untuk melindungi hak-hak anak dan tenaga kependidikan atas perlindungan, keamanan, kelangsungan hidup dan juga hak anak untuk mendapatkan pendidikan dasar yang berkualitas, aman dan berkesinambungan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bermaksud untuk dapat menyebarkan pengetahuan mengenai pengurangan risiko bencana berikut fasilitas sekolah yang aman dan manajemen bencana di sekolah melalui guru maupun fasilitator.

b. Tujuan
  1. Memberi acuan standar bagi guru dan/ atau fasilitator dalam menyebarkan pengetahuan mengenai Sekolah Aman melalui serangkaian modul standar Sekolah Aman yang terdiri atas 3 (tiga) modul, yaitu:
  • Modul 1 – Fasilitas Sekolah Aman
  • Modul 2 – Manajemen Bencana di Sekolah
  • Modul 3 – Pendidikan Pengurangan Risiko

  1. Memberikan kesempatan bagi pihak-pihak yang memiliki ketertarikan dalam membantu penyebaran pengetahuan ini, untuk dapat berkontribusi terhadap tersebarnya pengetahuan ini dengan hasil yang standar, terutama dalam memberikan pelatihan bagi fasilitator (melalui Pelatihan untuk Pelatih atau ToT – Training of Trainer).






Dasar Hukum

  1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, amandemen Pasal 28, Pasal 31 serta Pasal 34 Ayat 2.
  2. Undang-undang No. 36 Tahun 1999 tentang Hak Azazi Manusia.
  3. SNI 03-1726-2002 tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempat untuk Bangunan Gedung
  4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
  5. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301).
  6. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung.
  7. Pedoman Teknis Rumah dan Bangunan Gedung Tahan Gempa, Ditjen. Cipta Karya, 2006, yang dilengkapi dengan Metode dan Cara Perbaikan Konstruksi.
  8. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
  9. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah (SD/ MI), Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tsanawiyah (SMP/ MTs), dan Sekolah Menengah Atas/ Madrasah Aliyah (SMA/ MA)
  10. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 45/PRT/M/2007 tentang Pedoman teknis pembangunan gedung Negara.
  11. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 33 Tahun 2008 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), dan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB)
  12. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 40 Tahun 2008 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah Menengah Kejuruan/ Madrasah Aliyah Kejuruan (SMK/ MAK)
  13. Surat Endaran Menteri Pendidikan Nasional No. 70a/MPN/SE/2010 tentang Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana di Sekolah.
  14. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2012 tentang Pedoman Penerapan Sekolah/Madrasah Aman Bencana.
  15. Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 232 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
  16. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
  17. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
  18. Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
  19. Standar Nasional Indonesia Nomor 7937 Tahun 2013 tentang Layanan Kemanusiaan dalam Bencana
  20. Undang Undang Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengesahan Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography (Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak)
  21. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  22. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas
  23. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.

Kerangka Kerja Sekolah Aman

Setiap anak memiliki hak atas keselamatan dan kelangsungan hidup, selain juga hak untuk mendapatkan pendidikan dasar yang berkualitas dan berkesinambungan. Hak-hak ini sering kali terancam tidak terpenuhi akibat bahaya alam dan bahaya terkait teknologi yang menyebabkan terjadinya bencana besar dan kecil. Bencana ini, baik sekala besar, sedang maupun kecil, memberikan dampak terhadap keselamatan dan pendidikan anak-anak. Saat pendidikan menjadi terganggu, pendidikan seorang anak bisa menjadi terputus, kadang terputus selamanya, yang berarti memberikan dampak negatif yang permanen, baik secara ekonomi maupun sosial, terhadap anak tersebut, keluarganya dan komunitasnya.
Untuk sektor pendidikan, dampak terburuk dari sebuah bencana adalah hilangnya nyawa maupun terjadinya cedera parah di sekolah. Terdapat banyak konsekuensi lain yang dapat secara permanen mempengaruhi masa depan anak-anak:
  • Sekolah yang tidak bisa digunakan karena rusak
  • Sekolah yang tidak bisa digunakan karena digunakan sebagai hunian sementara atau tempat pengungsian
  • Sekolah yang sudah tidak dapat diakses
  • Hilangnya akses fisik ruang bermain anak yang ramah
  • Hillangnya peralatan sekolah dan materi pendidikan
  • Guru tidak bisa mengajar
  • Peserta didik diharapkan untuk mencari nafkah, membantu dalam pemulihan maupun dalam mengasuh adiknya secara purna waktu
  • Gangguan psikososial pada guru, peserta didik dan tenaga kependidikan lainnya

Sektor pendidikan memiliki peran penting dalam menghadapi berbagai tantangan yang diakibatkan oleh terjadinya bencana dan dalam mencegah bahaya menjadi bencana. Dengan melakukan pengkajian terhadap bahaya dan risiko, melakukan perencanaan berdasarkan hasil kajian tersebut, melakukan perlindungan fisik dan lingkungan, serta membuat rencana kesiapsiagaan, maka bahaya dapat dicegah untuk tidak menjadi bencana. Sekolah merupakan lembaga tempat berbagi pengetahuan dan keterampilan, sehingga harapan bahwa sekolah menjadi panutan dalam melakukan pencegahan bencana menjadi tinggi. Keberhasilan mitigasi bencana merupakan salah satu ujian utama terhadap keberhasilan pendidikan yang diberikan dari generasi ke generasi.

Pada tahun 2012, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengeluarkan Perka BNPB No. 4 Tahun 2012 tentang Pedoman Penerapan Sekolah/ Madrasah Aman dari Bencana (SMAB), di mana Perka ini bertujuan untuk:
  1. Mengidentifikasi lokasi sekolah/ madrasah pada prioritas daerah rawan bencana gempa bumi dan tsunami;
  2. Memberikan acuan dalam penerapan Sekolah/ Madrasah Aman dari bencana baik secara struktural maupun non-struktural.

Ruang lingkup pedoman penerapan sekolah/ madrasah aman dari bencana ini diarahkan pada aspek mendasar, yaitu:
  1. Kerangka Kerja Struktural, yang terdiri dari:
  • Lokasi aman
  • Struktur bangunan aman
  • Desain dan penataan kelas aman
  • Dukungan sarana dan prasara aman
  1. Kerangka Kerja Non-Struktural, yang terdiri dari:
  • Peningkatan pengetahuan, sikap dan tindakan
  • Kebijakan sekolah/ madrasah aman
  • Perencanaan kesiapsiagaan
  • Mobilitas sumberdaya

Di tingkat global, terdapat kerangka kerja Sekolah Aman yang Komprehensif yang merangkum kedua Kerangka Kerja yang tercakup pada Perka BNPB No. 4 Tahun 2012.

Sasaran sekolah aman yang komprehensif

Sasaran dari sekolah aman yang komprehensif dalam menghadapi bahaya yang sudah diperkirakan, baik yang alami ataupun buatan manusia, adalah untuk:
  • Melindungi peserta didik, guru dan tenaga kependidikan lainnya dari risiko kematian dan cedera di sekolah
  • Merencanakan kesinambungan pendidikan dalam menghadapi bahaya yang sudah diperkirakan
  • Memperkuat ketangguhan warga komunitas terhadap bencana melalui pendidikan
  • Melindungi investasi di sektor pendidikan

Tiga pilar sekolah aman yang komprehensif

Sekolah aman yang komprehensif dapat dicapai melalui kebijakan dan perencanaan yang sejalan dengan manajemen bencana di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/ kota dan di tingkat sekolah. Sekolah aman yang komprehensif ini ditopang oleh tiga pilar sebagai berikut:
  1. Fasilitas Sekolah Aman
  2. Manajemen Bencana di Sekolah
  3. Pendidikan Pencegahan dan Pengurangan Risiko Bencana



Fasilitas Sekolah Aman
Bangunan sekolah dan fasilitas sekolah yang tidak tahan bencana akan sangat rentan dari segi keamanannya, bukan saja mengancam jiwa anak-anak, tetapi kerusakan maupun kehancuran sarana dan prasarana fisik ini merupakan kehilangan aset ekonomi bagi negara dan komunitas pada khususnya, dan biaya untuk membangun ulang akan membebani perekonomian3.

Fasilitas Sekolah Aman melibatkan pihak-pihak berwenang di sektor pendidikan, perencana, arsitek, insinyur, para tukang bangunan dan anggota komite sekolah dalam menentukan lokasi yang aman, perancangan, konstruksi dan perawatan (termasuk akses yang aman dan berkelanjutan untuk mencapai fasilitas tersebut.

Pengetahuan mengenai Fasilitas Sekolah Aman merupakan langkah awal untuk memastikan bahwa sekolah yang berlokasi di daerah rawan bahaya sudah dirancang dan dibangun sedemikian rupa sehingga penggunanya (peserta didik, guru dan tenaga kependidikan lain) terlindungi. Pengetahuan ini juga dapat digunakan dalam melakukan penguatan (retrofit) terhadap bangunan sekolah, sehingga lingkungan belajar menjadi tempat berlindung yang aman, dan bukan merupakan tempat yang memiliki potensi bahaya bagi kehidupan mereka.
Pendekatan konstruksi dan penguatan (retrofit) terhadap sekolah aman yang melibatkan masyarakat luas dalam memadukan pengetahuan baru dan keterampilan pencegahan bencana dapat berdampak lebih luas daripada dampak terhadap sekolah itu sendiri. Pendekatan sekolah aman dapat menjadi model konstruksi dan peningkatan tingkat keamanan untuk pembangunan rumah, pusat kesehatan masyarakat, dan bangunan fasilitas umum lainnya.


Manajemen Bencana di Sekolah
Manajemen Bencana di Sekolah merupakan proses pengkajian yang kemudian diikuti oleh perencanaan terhadap perlindungan fisik, perencanaan pengembangan kapasitas dalam melakukan respon/ tanggap darurat, dan perencanaan kesinambungan pendidikan, di tingkat sekolah masing-masing sampai dengan otoritas pendidikan di semua tingkatan, baik kabupaten/ kota, provinsi hingga nasional.

Manajemen Bencana di Sekolah ditentukan melalui pihak-pihak berwenang di sektor pendidikan tingkat nasional, provinsi, kabupaten/ kota dan di tingkat komunitas sekolah (termasuk peserta didik dan orang tua peserta didik), bekerja sama dengan mitra di bidang manajemen bencana, untuk menjaga lingkungan belajar yang aman serta merencanakan kesinambungan pendidikan pendidikan, sesuai dengan standar internasional.

Pendidikan Pencegahan dan Pengurangan Risiko Bencana
Pendidikan Pencegahan dan Pengurangan Risiko Bencana atau lebih sering disebut sebagai Pendidikan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) merupakan sebuah kegiatan jangka panjang dan merupakan bagian dari pembangunan berkelanjutan. Melalui pendidikan diharapkan agar upaya pengurangan risiko bencana dapat mencapai sasaran yang lebih luas dan dapat dikenalkan secara lebih dini kepada seluruh peserta didik, yang pada akhirnya dapat berkontribusi terhadap kesiapsiagaan individu maupun masyarakat terhadap bencana.

Pendidikan Pencegahan dan Pengurangan Risiko Bencana harus dirancang untuk membangun budaya aman dan komunitas yang tangguh.

Keterkaitan antara Kerangka Kerja Struktural dan Kerangka Kerja Non-Struktural yang tercantum di dalam Perka BNPB No. 4 Tahun 2012 mengenai SMAB dengan Kerangka Kerja global Sekolah Aman yang Komprehensif adalah sebagai berikut:
  • Cakupan Kerangka Kerja Struktural tercantum di dalam Pilar 1 Kerangka Kerja Sekolah Aman yang Komprehensif
  • Cakupan Kerangka Kerja Non-Struktural tercantum di dalam Pilar 2 dan Pilar 3 Kerangka Kerja Sekolah Aman yang Komprehensif



BAB II
PILAR 1 – FASILITAS SEKOLAH AMAN


Fasilitas Sekolah Aman merupakan fasilitas sekolah dengan gedung, isinya dan halaman sekitarnya memenuhi persyaratan keselamatan, kesehatan, kemudahan termasuk kelayakan bagi anak berkebutuhan khusus, kenyamanan dan keamanan sesuai dengan Permen PU No 29/2006 dan Pedoman Teknis Rumah dan Bangunan Tahan Gempa yang dikeluarkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum pada tahun 2006, SNI-1726-2002 dan Perka BNPB No. 4/2012 tentang Pedoman Penerapan Sekolah/Madrasah Aman Bencana.

Secara umum dalam rangka penerapan Sekolah Aman, sekolah diharapkan mampu melaksanakan hal-hal sebagai berikut:
  • Memilih lokasi sekolah yang aman dan melaksanakan perencanaan ketahanan terhadap bencana dan konstruksi nya untuk menjadikan setiap sekolah baru menjadi sekolah yang aman.
  • Melaksanakan skema prioritas dan retrofitting dan perubahan lokasi sekolah (termasuk merelokasi sekolah-sekolah yang kurang aman).
    • Menimimalkan risiko struktural, non-struktural dan infrastruktur untuk membuat bangunan dan fasilitas untuk menyelamatkan diri dan evakuasi.
  • Memasukan akses dan keamanan bagi para disabilitas dalam perencanaan dan konstruksi fasilitas sekolah.
  • Jika sekolah direncanakan sebagai hunian sementara komunitas, maka perencanaannya diharapkan untuk memasukkan kebutuhan untuk kaum disabilitas, dan menjamin bahwa perencanaan juga memenuhi kebutuhan untuk fasilitas alternatif untuk kelangsungan pendidikan.
  • Menjamin bahwa akses anak-anak kesekolah aman dari risiko fisik (seperti jalur pejalan kaki, jalur penyeberangan jalan dan penyeberangan sungai).
  • Memasukan fasilitas air dan sanitasi ke dalam potensi risiko (seperti fasilitas air tadah hujan dan fasilitas toilet/ kamar kecil berjajar).
  • Melaksanakan intervensi yang memperhatikan perubahan cuaca untuk ketahanan terhadap air, energi dan makanan (misalnya penampungan air hujan, panel surya, energi baru dan terbarukan, taman sekolah).
  • Melakukan pemeliharaan fasilitas sekolah dan menjaga keamanan.

Fasilitas sekolah aman menjadi kondisi yang dapat diandalkan dalam memberikan keamanan bagi warga sekolah saat terjadi bencana. Konsep sekolah aman yang belakangan dikembangkan menjadi Sekolah Aman yang Komprehensif mencakup unsur-unsur sebagai sub-pilar yang menunjang fasilitas sekolah aman seperti tertera dalam diagram ini:


Sub-pilar utama yang menunjang Pilar 1 tersebut adalah sebagai berikut:

PERSIAPAN
PEMBANGUNAN
PEMELIHARAAN
  1. Pemilihan lokasi
  1. Standar (peraturan konstruksi) bangunan (building code)
  2. Standar kinerja
  3. Desain yang tahan terhadap bencana
  4. Pelatihan bagi pembuat bangunan
  1. Pengawasan konstruksi
  2. Kontrol terhadap kualitas
  1. Pemodelan ulang atau renovasi
  2. Perkuatan (retrofit)

Selain itu, juga terdapat irisan antara Pilar 1 Fasilitas Sekolah Aman dengan Pilar 2 Manajemen Bencana di Sekolah yaitu:
    1. Perawatan Gedung
    2. Mitigasi non-struktural
    3. Keselamatan dari Kebakaran

Sedangkan irisan antara Pilar 1 dan Pilar 3 Pendidikan Pencegahan dan Pengurangan Risiko Bencana adalah:
  1. Pendidikan struktur bangunan yang aman
  2. Konstruksi sebagai peluang pembelajaran

Sedang irisan ketiga pilar tersebut adalah:
  1. Analisis sektor pendidikan
  2. Kajian risiko multi-bahaya
  3. Kajian dan perencanaan yang berpusat pada anak
Irisan ketiga pilar ini dijelaskan lebih lanjut di Modul Pilar 3.


  1. Sub-Pilar 1: Pemilihan lokasi
Pemilihan lokasi sekolah adalah sangat penting bagi kelangsungan keberadaan sekolah dan mekanisme perawatan sekolah yang terbaik. Lokasi yang mempunyai potensi bencana sebaiknya dihindari karena akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Namun demikian seringkali sekolah juga tetap didirikan di lokasi dengan kondisi tanah yang kurang baik karena ketiadaan ketersediaan lahan, atau seringkali juga tanpa pengertian akan kondisi tanah yang sebenarnya dan kurang pemahaman mengenai risiko yang dapat ditimbulkannya.

Dalam berbagai dokumen mengenai pendirian bangunan, hal ini diatur dengan tingkat kedalaman yang berbeda-beda. Sebagai contoh dalam Pedoman Teknis Bangunan Tahan Gempa yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya tahun 2006 hanya disebutkan dalam dasar-dasar perencanaan bangunan rumah dan gedung, antara lain kondisi alam (termasuk geologi dan geofisik) yang digambarkan oleh peta gempa, serta kondisi teknis dan keadaan ekonomi pada suatu daerah di mana bangunan akan dibangun. Kemudian, Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung dan Rumah menurut Standar Nasional Indonesia - SNI 03-1726-2002 menjabarkan secara teknis cara mengalisis kondisi tanah yang menjadi lokasi, sampai jenis-jenis gelombang bencana yang berpengaruh terhadap tanah.

Dalam Pedoman Sekolah Aman/ Madrasah (Perka 4 tahun 2012) aspek lokasi sekolah aman dari bencana dijabarkan dengan cukup baik, pemilihan lokasi merupakan aspek yang mendasar dalam memutuskan sekolah yang akan dibangun. Beberapa kriteria lokasi untuk sekolah aman bencana, antara lain:
  1. Lahan untuk lokasi sekolah harus sesuai dengan peruntukannya sebagaimana diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/ Kota yang diatur dengan Perda atau rencana lain yang lebih rinci dan mengikat.
  2. Lahan memiliki status hak atas tanah, dan/ atau memiliki izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk jangka waktu minimum 20 tahun (PerMen PU No. 29 Tahun 2006). Peraturan ini juga memberikan arahan analisis struktur lahan, termasuk bila lahan pernah kena bencana dan dampaknya.
  3. Luas lahan yang cukup untuk membangun prasarana sekolah/ madrasah berupa bangunan, tempat bermain, ruang (terbuka/ tertutup) untuk berolahraga, serta memenuhi ketentuan rasio minimum luas lahan terhadap peserta didik.
  4. Lahan terhindar dari potensi bahaya yang mengancam kesehatan dan keselamatan jiwa, terhindar dari gangguan pencemaran air, kebisingan, dan pencemaran udara serta memiliki akses untuk penyelamatan dalam keadaan darurat.
  • Tidak terletak di lahan bekas pembuangan sampah akhir (TPA) dan daerah bekas pertambangan.
  • Jauh dari gangguan atau jaringan listrik tegangan tinggi (minimal 0,5 km).
  • Bangunan sekolah sebaiknya berada cukup jauh dari sungai dan berada di ketinggian yang aman dari bahaya banjir.
  • Tidak terletak di atas tebing atau kemiringan lahan tidak boleh melebihi 6% kecuali kalau sudah diambil langkah besar untuk mengendalikan erosi dan mempersiapkan drainase.
  1. Peletakan bangunan sekolah agak jauh dari sempadan jalan yang ada, di mana biasanya antara bangunan dan garis sepadan jalan terdapat fasilitas sekolah, saluran air (bersih kotor), sesuai peraturan yang ada.
  2. Standar sarana prasarana yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yaitu Permendiknas nomor 24 tahun 2007 dan Permendiknas nomor 33 tahun 2008 (SLB) mengenai lahan untuk membangun sekolah sebagaimana diacu juga dalam Perka BNPB No. 4 tahun 2012 huruf b, c, d di atas, serta kemiringan lahan, tidak berada dalam garis sempadan sungai, jalur kereta api. Kemudian lahan terhindar dari gangguan-gangguan pencemaran air (PP RI 20 tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air), dari gangguan kebisingan (Kepmeneg KLH 94/MENKLH/1992 tentang Baku Mutu Kebisingan), dari gangguan pencemaran udara (Kemeneg KLH No. 02/MEN KLH/1988) tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan.
  3. Khususnya untuk Sekolah Luar Biasa (SLB), lokasi sekolah agar memugkinkan akses yang mudah ke fasiitas kesehatan, kemudian lahan memiliki akses untuk penyelamatan dalam keadaan darurat dengan kendaraan roda empat (Permendiknas 33 Tahun 2008 Sarana Prasarana untuk SLB).

Penilaian atau pengkajian terkait lahan yang aman terhadap bencana juga telah dimuat dalam lampiran 3 Perka BNPB nomor 4 tahun 2012 tentang Pedoman Penerapan Sekolah/Madrasah Aman Bencana, yaitu Perangkat Pemeriksaan Kerentanan Bangunan Sekolah yang diadopsi dari Panduan Teknis Rehabilitasi Sekolah Aman dengan Dana Alokasi Khusus Pendidikan Tahun 2011 yang disampaikan oleh BNPB kepada Kementerian Pendidikan Nasional, melalui Wakil Menteri Pendidikan, tertanggal 18 Februari 2011. Salah satu instrumen terkait lokasi sekolah berupa pertanyaan: “Sekolah kami berlokasi di daerah yang pernah terkena gempa bumi besar sebelumnya, atau tsunami, longsor, kebakaran.”

Catatan untuk sub-pilar lainnya:
Intrumen ini menggunakan formulir Pemeriksaan oleh Sekolah mengenai aspek sarana dan prasarana Sekolah/Madrasah, dan aspek lingkungan sosial sekolah. Untuk sarana dan prasarana yang termasuk adalah:
  • Informasi umum (nama sekolah, pemeriksa), informasi geografis, informasi bangunan (fungsi, kepemilikan, penghuni, tahun berdiri, material struktur bangunan, material dinding bangunan, materi rangka atap-kuda-kuda), informasi komunitas (daerah, desa/ kota/ pinggiran, profesi penduduk, status ekonomi, kesadaran penduduk);
  • Sejarah bencana alam (jenis bencana alam, waktu kejadian, apakah rumah pernah rusak karena bencana, kapan bangunan rusak dan bencana apa yang menyebabkan, apakah bangunan pernah diperbaiki/ diperkuat?);
  • Kondisi Sekolah (apakah bangunan dirancang gempa, pintu kelas, jalur evakuasi, pelatihan dan simulasi bencana, wilayah rawan bencana);
  • Status sekolah dengan berbagai jenis bencana, tsunami, gunung berapi, longsor, kebakaran.


  1. Sub-Pilar 2: Standar Bangunan
Standar Bangunan termasuk “building code” atau SNI (Standar Nasional Indonesia) terkait dengan bangunan akan menjadi dasar dari uraian di bawah ini dengan mengacu pada Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara (Peraturan Menteri PU No. 45/PRT/M/2007) yang diterbitkan oleh pada Kementerian Pekerjaan Umum.

Dalam Perka BNPB No. 4 tahun 2012, beberapa peraturan terkait dengan standar bangunan sudah ada, di antaranya:
  1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2007, tentang Penataan Ruang;
  2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2002, tentang Bangunan Gedung;
  3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992, tentang Perumahan dan Permukiman; yang digantikan dengan peraturan perundangan terbaru yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011, tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman;
  4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005, tentang peraturan Pelaksanaan UU Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung;
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 1999, tentang Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun yang Berdiri Sendiri;
  6. Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2011, tentang Pembangunan Bangunan Gedung Negara;
  7. Keputusan Presiden No.63 Tahun 2003, tentang Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional.

Khusus terkait Bangunan Gedung Sekolah, Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan telah mengeluarkan standar sarana prasarana, yaitu Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 24 tahun 2007 untuk SD/MI/SMP/MTs/SMA/MA dan Permendiknas nomor 33 tahun 2008 untuk SLB yang selaras dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung. Berikut ringkasan Permendiknas No. 24 tahun 2007:
  1. Bangunan gedung untuk satuan pendidikan SD/MI/SMP/Mts/SMA/MA memenuhi ketentuan rasio minimum luas lantai terhadap peserta didik.
  2. Untuk satuan pendidikan yang memiliki rombongan belajar dengan banyak peserta didik kurang dari kapasitas maksimum kelas, lantai bangunan juga memenuhi ketentuan luas minimum seperti tercantum pada Tabel di bawah ini.
    No.
    Banyak rombongan belajar
    Luas minimum lantai bangunan (m2)
    Bangunan satu
    lantai
    Bangunan dua lantai
    Bangunan tiga lantai
    1.
    6
    400
    470
    500
    2.
    7 – 12
    680
    740
    770
    3.
    13 – 18
    960
    1030
    1050
    4.
    19 - 24
    1230
    1330
    1380
  3. Bangunan gedung memenuhi ketentuan tata bangunan yang terdiri dari:
    1. Koefisien dasar bangunan maksimum 30%;
    2. Koefisien lantai bangunan dan ketinggian maksimum bangunan gedung yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah;
    3. Jarak bebas bangunan gedung yang meliputi garis sempadan bangunan gedung dengan as jalan, tepi sungai, tepi pantai, jalan kereta api, dan/ atau jaringan tegangan tinggi, jarak antara bangunan gedung dengan batas-batas persil, dan jarak antara as jalan dan pagar halaman yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
  4. Bangunan gedung memenuhi persyaratan keselamatan berikut.
    1. Memiliki struktur yang stabil dan kukuh sampai dengan kondisi pembebanan maksimum dalam mendukung beban muatan hidup dan beban muatan mati, serta untuk daerah/ zona tertentu memiliki kemampuan untuk menahan gempa dan kekuatan alam lainnya;
    2. Dilengkapi sistem proteksi pasif dan/ atau proteksi aktif untuk mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran dan petir.
  5. Bangunan gedung memenuhi persyaratan kesehatan berikut.
    1. Mempunyai fasilitas secukupnya untuk ventilasi udara dan pencahayaan yang memadai;
    2. Memiliki sanitasi di dalam dan di luar bangunan gedung untuk memenuhi kebutuhan air bersih, pembuangan air kotor dan/atau air limbah, kotoran dan tempat sampah, serta penyaluran air hujan;
    3. Bahan bangunan yang aman bagi kesehatan pengguna bangunan gedung dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.
  6. Bangunan memenuhi persyaratan aksesibilitas berikut:
    1. Menyediakan fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, aman, dan nyaman untuk penyandang cacat yang memiliki kesulitan mobilitas termasuk pengguna kursi roda;
    2. Dilengkapi dengan fasilitas pengarah jalan (guiding block) untuk tunanetra.
  7. Bangunan gedung memenuhi persyaratan kenyamanan berikut.
    1. Bangunan gedung mampu meredam getaran dan kebisingan yang mengganggu kegiatan pembelajaran;
    2. Setiap ruangan memiliki temperatur dan kelembaban yang tidak melebihi kondisi di luar ruangan;
    3. Setiap ruangan dilengkapi dengan lampu penerangan.
  8. Bangunan gedung bertingkat memenuhi persyaratan berikut:
    1. Maksimum terdiri dari tiga lantai;
    2. Dilengkapi tangga yang mempertimbangkan kemudahan, keamanan, keselamatan, dan kesehatan pengguna.
  9. Bangunan gedung dilengkapi sistem keamanan berikut:
    1. Peringatan bahaya bagi pengguna, pintu keluar darurat, dan jalur evakuasi jika terjadi bencana kebakaran dan/ atau bencana lainnya;
    2. Akses evakuasi yang dapat dicapai dengan mudah dan dilengkapi penunjuk arah yang jelas.
  10. Bangunan gedung dilengkapi instalasi listrik dengan daya minimum 900 watt.
  11. Pembangunan gedung atau ruang baru harus dirancang, dilaksanakan, dan diawasi secara profesional.
  12. Kualitas bangunan gedung minimum permanen kelas B, sesuai dengan PP No. 19 Tahun 2005 Pasal 45, dan mengacu pada Standar PU.
  13. Bangunan gedung sekolah baru dapat bertahan minimum 20 tahun.
  14. Bangunan gedung dilengkapi izin mendirikan bangunan dan izin penggunaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lebih rinci terkait dengan persyaratan teknis bangunan gedung negara, Kementerian PU sudah mengeluarkan Permen PU No. 29 tahun 2006 tentang persyaratan pembangunan gedung negara. Pemerintah juga telah mengeluarkan peraturan bagi penyelenggara dalam melaksanakan pembangunan bangunan gedung negara, yaitu Permen PU No. 45 tahun 2007.

Bangunan sekolah termasuk dalam bangunan sederhana dan masuk kategori bangunan tidak sederhana kalau bangunan sekolah memiliki lebih dari 2 lantai.

Berikut adalah persyaratan terkait bangunan

Persyaratan Struktur Bangunan
Struktur bangunan sekolah harus memenuhi persyaratan keselamatan (safety) dan kelayanan (serviceability) serta SNI konstruksi bangunan gedung, yang dibuktikan dengan analisis struktur sesuai ketentuan. Spesifikasi teknis struktur bangunan gedung negara secara umum meliputi ketentuan-ketentuan:

    1. Struktur pondasi
  1. Struktur pondasi harus diperhitungkan mampu menjamin kinerja bangunan sesuai fungsinya dan dapat menjamin kestabilan bangunan terhadap berat sendiri, beban hidup, dan gaya-gaya luar seperti tekanan angin dan gempa termasuk stabilitas lereng apabila didirikan di lokasi yang berlereng. Untuk daerah yang jenis tanahnya berpasir atau lereng dengan kemiringan di atas 15°, jenis pondasinya disesuaikan dengan bentuk massa bangunan gedung untuk menghindari terjadinya likuifaksi (liquifaction)4 pada saat terjadi gempa;
  2. Pondasi bangunan gedung negara disesuaikan dengan kondisi tanah/ lahan, beban yang dipikul, dan klasifikasi bangunannya. Untuk bangunan yang dibangun di atas tanah/ lahan yang kondisinya memerlukan penyelesaian pondasi secara khusus, maka kekurangan biayanya dapat diajukan secara khusus di luar biaya standar sebagai biaya pekerjaan pondasi non-standar;
  3. Untuk pondasi bangunan bertingkat lebih dari 3 lantai atau pada lokasi dengan kondisi khusus maka perhitungan pondasi harus didukung dengan penyelidikan kondisi tanah/ lahan secara teliti.

    1. Struktur lantai
Bahan dan tegangan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. Struktur lantai kayu
  • dalam hal digunakan lantai papan setebal 2 cm, maka jarak antara balok-balok anak tidak boleh lebih dari 60 cm, ukuran balok minimum 6/12 cm;
  • balok-balok lantai yang masuk ke dalam pasangan dinding harus dilapis bahan pengawet terlebih dahulu;
  • bahan-bahan dan tegangan serta lendutan maksimum yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan SNI yang dipersyaratkan.
  1. Struktur lantai beton
  • lantai beton yang diletakkan langsung di atas tanah, harus diberi lapisan pasir di bawahnya dengan tebal sekurang-kurangnya 5 cm, dan lantai kerja dari beton tumbuk setebal 5 cm;
  • bagi pelat-pelat lantai beton bertulang yang mempunyai ketebalan lebih dari 10 cm dan pada daerah balok (¼ bentang pelat) harus digunakan tulangan rangkap, kecuali ditentukan lain berdasarkan hasil perhitungan struktur;
  • bahan-bahan dan tegangan serta lendutan maksimum yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan SNI yang dipersyaratkan.
  1. Struktur lantai baja
  • tebal pelat baja harus diperhitungkan, sehingga bila ada lendutan masih dalam batas kenyamanan;
  • sambungan-sambungannya harus rapat betul dan bagian yang tertutup harus dilapis dengan bahan pelapis untuk mencegah timbulnya korosi;
  • bahan-bahan dan tegangan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan SNI yang dipersyaratkan.

    1. Struktur Kolom
  1. Struktur kolom kayu
  • dimensi kolom bebas diambil minimum 20 cm x 20 cm;
  • mutu bahan dan kekuatan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan SNI yang dipersyaratkan.
  1. Struktur kolom praktis dan balok pasangan bata:
  • besi tulangan kolom praktis pasangan minimum 4 buah Ø 8 mm dengan jarak sengkang maksimum 20 cm;
  • adukan pasangan bata yang digunakan sekurangkurangnya harus mempunyai kekuatan yang sama dengan adukan 1PC : 3 PS;
  • mutu bahan dan kekuatan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan SNI yang dipersyaratkan.
  1. Struktur kolom beton bertulang:
  • kolom beton bertulang yang dicor di tempat harus mempunyai tebal minimum 15 cm diberi tulangan minimum 4 buah Ø 12 mm dengan jarak sengkang maksimum 15 cm;
  • selimut beton bertulang minimum setebal 2,5 cm;
  • mutu bahan dan kekuatan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan SNI yang dipersyaratkan.
  1. Struktur kolom baja:
  • kolom baja harus mempunyai kelangsingan (λ) maksimum 150;
  • kolom baja yang dibuat dari profil tunggal maupun tersusun harus mempunyai minimum 2 sumbu simetris;
  • sambungan antara kolom baja pada bangunan bertingkat tidak boleh dilakukan pada tempat pertemuan antara balok dengan kolom, dan harus mempunyai kekuatan minimum sama dengan kolom;
  • sambungan kolom baja yang menggunakan las harus menggunakan las listrik, sedangkan yang menggunakan baut harus menggunakan baut mutu tinggi;
  • penggunaan profil baja tipis yang dibentuk dingin, harus berdasarkan perhitungan-perhitungan yang memenuhi syarat kekuatan, kekakuan, dan stabilitas yang cukup;
  • mutu bahan dan kekuatan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan dalam SNI yang dipersyaratkan.
  1. Struktur dinding geser:
  • dinding geser harus direncanakan untuk secara bersama-sama dengan struktur secara keseluruhan agar mampu memikul beban yang diperhitungkan terhadap pengaruh-pengaruh aksi sebagai akibat dari beban-beban yang mungkin bekerja selama umur layanan struktur, baik beban muatan tetap maupun muatan beban sementara yang timbul akibat gempa dan angin;
  • dinding geser mempunyai ketebalan sesuai dengan ketentuan dalam SNI.

    1. Struktur Atap
  1. Umum
  • konstruksi atap harus didasarkan atas perhitungan-perhitungan yang dilakukan secara keilmuan/ keahlian teknis yang sesuai;
  • kemiringan atap harus disesuaikan dengan bahan penutup atap yang akan digunakan, sehingga tidak akan mengakibatkan kebocoran;
  • bidang atap harus merupakan bidang yang rata, kecuali dikehendaki bentuk-bentuk khusus.
  1. Struktur rangka atap kayu
  • ukuran kayu yang digunakan harus sesuai dengan ukuran yang dinormalisir;
  • rangka atap kayu harus dilapis bahan anti rayap;
  • bahan-bahan dan tegangan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan SNI yang dipersyaratkan.
  1. Struktur rangka atap beton bertulang Mutu bahan dan kekuatan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan SNI yang dipersyaratkan.
  2. Struktur rangka atap baja
  • sambungan yang digunakan pada rangka atap baja baik berupa baut, paku keling, atau las listrik harus memenuhi ketentuan pada Pedoman Perencanaan Bangunan Baja untuk Gedung;
  • rangka atap baja harus dilapis dengan pelapis anti korosi;
  • bahan-bahan dan tegangan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan SNI yang dipersyaratkan;
  • untuk bangunan sekolah tingkat dasar, sekolah tingkat lanjutan/menengah, dan rumah negara yang telah ada komponen fabrikasi, struktur rangka atapnya dapat menggunakan komponen pre-fabrikasi yang telah ada.

Persyaratan struktur bangunan sebagaimana butir huruf a s/d butir huruf d di atas secara lebih rinci mengikuti ketentuan yang diatur dalam SNI yang dipersyaratkan.

    1. Struktur Beton Pracetak
  1. Komponen beton pracetak untuk struktur bangunan gedung negara dapat berupa komponen pelat, balok, kolom dan/atau panel dinding;
  2. Perencanaan komponen struktur beton pracetak dan sambungannya harus mempertimbangkan semua kondisi pembebanan dan “kekangan” deformasi mulai dari saat pabrikasi awal, hingga selesainya pelaksanaan struktur, termasuk pembongkaran cetakan, penyimpanan, pengangkutan, dan pemasangan;
  3. Gaya-gaya antar komponen-komponen struktur dapat disalurkan menggunakan sambungan grouting, kunci geser, sambungan mekanis, sambungan baja tulangan, pelapisan dengan beton bertulang cor setempat, atau kombinasi;
  4. Sistem struktur beton pracetak boleh digunakan bila dapat ditunjukan dengan pengujian dan analisis bahwa sistem yang diusulkan akan mempunyai kekuatan dan “ketegaran” yang minimal sama dengan yang dimiliki oleh struktur beton monolit yang setara;
  5. Komponen dan sistem lantai beton pracetak
  • Sistem lantai pracetak harus direncanakan agar mampu menghubungkan komponen struktur hingga terbentuk sistem penahan beban lateral (kondisi diafragma kaku). Sambungan antara diafragma dan komponen-komponen struktur yang ditopang lateral harus mempunyai kekuatan tarik nominal minimal 45 KN/m;
  • Komponen pelat lantai yang direncanakan komposit dengan beton cor setempat harus memiliki tebal minimum 50 mm;
  • Komponen pelat lantai yang direncanakan tidak komposit dengan beton cor setempat harus memiliki tebal minimum 65 mm;
  1. Komponen kolom pracetak harus memiliki kuat tarik nominal tidak kurang dari 1,5 luas penampang kotor (Ag dalam KN);
  2. Komponen panel dinding pracetak harus mempunyai minimum dua tulangan pengikat per panel dengan memiliki kuat tarik nominal tidak kurang dari 45 KN per tulangan pengikat;
  3. Bahan-bahan dan tegangan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan SNI yang dipersyaratkan.

Persyaratan Sarana Penyelamatan
Setiap bangunan gedung negara harus dilengkapi dengan sarana penyelamatan dari bencana atau keadaan darurat, serta harus memenuhi persyaratan standar sarana penyelamatan bangunan sesuai SNI yang dipersyaratkan. Spesifikasi teknis sarana penyelamatan bangunan gedung negara meliputi ketentuan-ketentuan:

    1. Tangga darurat
  1. Setiap bangunan gedung negara yang bertingkat lebih dari 3 lantai, harus mempunyai tangga darurat/ penyelamatan minimal 2 buah dengan jarak maksimum 45 m (bila menggunakan sprinkler jarak bisa 1,5 kali);
  2. Tangga darurat/ penyelamatan harus dilengkapi dengan pintu tahan api, minimum 2 jam, dengan arah pembukaan ke tangga dan dapat menutup secara otomatis dan dilengkapi fan untuk memberi tekanan positif. Pintu harus dilengkapi dengan lampu dan petunjuk KELUAR atau EXIT yang menyala saat listrik/ PLN mati. Lampu KELUAR dipasok dari bateri UPS terpusat;
  3. Tangga darurat/ penyelamatan yang terletak di dalam bangunan harus dipisahkan dari ruang-ruang lain dengan pintu tahan api dan bebas asap, pencapaian mudah, serta jarak pencapaian maksimum 45 m dan minimum 9 m;
  4. Lebar tangga darurat/ penyelamatan minimum adalah 1,20 m;
  5. Tangga darurat/ penyelamatan tidak boleh berbentuk tangga melingkar vertikal, exit pada lantai dasar langsung ke arah luar;
  6. Ketentuan lebih lanjut tentang tangga darurat/ penyelamatan mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur dalam standar teknis.

    1. Pintu darurat
  1. Setiap bangunan gedung negara yang bertingkat lebih dari 3 lantai harus dilengkapi dengan pintu darurat minimal 2 buah;
  2. Lebar pintu darurat minimum 100 cm, membuka ke arah tangga penyelamatan, kecuali pada lantai dasar membuka ke arah luar (halaman);
  3. Jarak pintu darurat maksimum dalam radius/ jarak capai 25 meter dari setiap titik posisi orang dalam satu blok bangunan gedung;
  4. Ketentuan lebih lanjut tentang pintu darurat mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur dalam standar yang dipersyaratkan.

    1. Pencahayaan darurat dan tanda penunjuk arah KELUAR (EXIT)
  1. Setiap bangunan gedung negara untuk pelayanan dan kepentingan umum seperti: kantor, pasar, rumah sakit, rumah negara bertingkat (rumah susun), asrama, sekolah, dan tempat ibadah harus dilengkapi dengan pencahayaan darurat dan tanda penunjuk arah KELUAR/ EXIT yang menyala saat keadaan darurat;
  2. Tanda KELUAR/ EXIT atau panah penunjuk arah harus ditempatkan pada persimpangan koridor, jalan ke luar menuju ruang tangga darurat, balkon atau teras, dan pintu menuju tangga darurat;
  3. Ketentuan lebih lanjut tentang pencahayaan darurat dan tanda penunjuk arah KELUAR/ EXIT yang lebih rinci harus mengikuti standar dan pedoman teknis.

    1. Koridor/ selasar
  1. Lebar koridor bersih minimum 1,80 m;
  2. Jarak setiap titik dalam koridor ke pintu darurat atau arah keluar yang terdekat tidak boleh lebih dari 25 m;
  3. Koridor harus dilengkapi dengan tanda-tanda penunjuk yang menunjukkan arah ke pintu darurat atau arah keluar;
  4. Panjang gang buntu maximum 15 m apabila dilengkapi dengan sprinkler dan 9 m tanpa sprinkler.

    1. Sistem peringatan bahaya
  1. Setiap bangunan gedung negara untuk pelayanan dan kepentingan umum seperti: kantor, pasar, rumah sakit, rumah negara bertingkat (rumah susun), asrama, sekolah, dan tempat ibadah harus dilengkapi dengan sistem komunikasi internal dan sistem peringatan bahaya;
  2. Sistem peringatan bahaya dan komunikasi internal tersebut mengacu pada ketentuan SNI yang dipersyaratkan.

  1. Fasilitas Penyelamatan
Setiap lantai bangunan gedung negara harus diberi fasilitas penyelamatan berupa meja yang cukup kuat, sarana evakuasi yang memadai sebagai fasilitas perlindungan saat terjadi bencana dengan mengacu pada ketentuan SNI yang dipersyaratkan.

Persyaratan Keselamatan Bangunan Gedung

  1. Persyaratan Struktur Bangunan Gedung
    1. Struktur Bangunan Gedung
      1. Setiap bangunan gedung, strukturnya harus direncanakan dan dilaksanakan agar kuat, kokoh, dan stabil dalam memikul beban/kombinasi beban dan memenuhi persyaratan keselamatan (safety), serta memenuhi persyaratan kelayanan (serviceability) selama umur layanan yang direncanakan dengan mempertimbangkan fungsi bangunan gedung, lokasi, keawetan, dan kemungkinan pelaksanaan konstruksinya.
      2. Kemampuan memikul beban diperhitungkan terhadap pengaruh-pengaruh aksi sebagai akibat dari beban-beban yang mungkin bekerja selama umur layanan struktur, baik beban muatan tetap maupun beban muatan sementara yang timbul akibat gempa, angin, pengaruh korosi, jamur, dan serangga perusak.
      3. Dalam perencanaan struktur bangunan gedung terhadap pengaruh gempa, semua unsur struktur bangunan gedung, baik bagian dari sub-struktur maupun struktur gedung, harus memperhitungkan memikul pengaruh gempa rencana sesuai dengan zona gempanya.
      4. Struktur bangunan gedung harus direncanakan secara daktail sehingga pada kondisi pembebanan maksimum yang direncanakan, apabila terjadi keruntuhan kondisi strukturnya masih dapat memungkinkan pengguna bangunan gedung menyelamatkan diri.
      5. Apabila bangunan gedung terletak pada lokasi tanah yang dapat terjadi likuifaksi, maka struktur bawah bangunan gedung harus direncanakan mampu menahan gaya likuifaksi tanah tersebut.
      6. Untuk menentukan tingkat keandalan struktur bangunan, harus dilakukan pemeriksaan keandalan bangunan secara berkala sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman/Petunjuk Teknis Tata Cara Pemeriksaan Keandalan Bangunan Gedung.
      7. Perbaikan atau perkuatan struktur bangunan harus segera dilakukan sesuai rekomendasi hasil pemeriksaan keandalan bangunan gedung, sehingga bangunan gedung selalu memenuhi persyaratan keselamatan struktur.
      8. Perencanaan dan pelaksanaan perawatan struktur bangunan gedung seperti halnya penambahan struktur dan/atau penggantian struktur, harus mempertimbangkan persyaratan keselamatan struktur sesuai dengan pedoman dan standar teknis yang berlaku.
      9. Pembongkaran bangunan gedung dilakukan apabila bangunan gedung sudah tidak laik fungsi, dan setiap pembongkaran bangunan gedung harus dilaksanakan secara tertib dengan mempertimbangkan keselamatan masyarakat dan lingkungannya.
      10. Pemeriksaan keandalan bangunan gedung dilaksanakan secara berkala sesuai klasifikasi bangunan, dan harus dilakukan atau didampingi oleh ahli yang memiliki sertifikasi sesuai.
      11. Untuk mencegah terjadinya keruntuhan struktur yang tidak diharapkan, pemeriksaan keandalan bangunan harus dilakukan secara berkala sesuai dengan pedoman/ petunjuk teknis yang berlaku.
    1. Pembebanan pada Bangunan Gedung
      1. Analisis struktur harus dilakukan untuk memeriksa respon struktur terhadap beban-beban yang mungkin bekerja selama umur kelayanan struktur, termasuk beban tetap, beban sementara (angin, gempa) dan beban khusus.
      2. Penentuan mengenai jenis, intensitas dan cara bekerjanya beban harus mengikuti:
        1. SNI 03-1726-2012 tentang tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk rumah dan gedung, atau edisi terbaru; dan
        2. SNI 03-1727-1989 tentang tata cara perencanaan pembebanan untuk rumah dan gedung, atau edisi terbaru.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/ atau pedoman teknis.

    1. Struktur Atas Bangunan Gedung
      1. Konstruksi beton Perencanaan konstruksi beton harus mengikuti:
        1. SNI 03-1734-1989 tentang tata cara perencanaan beton dan struktur dinding bertulang untuk rumah dan gedung, atau edisi terbaru;
        2. SNI 03-2847-1992 tentang tata cara penghitungan struktur beton untuk bangunan gedung, atau edisi terbaru;
        3. SNI 03-3430-1994 tentang tata cara perencanaan dinding struktur pasangan blok beton berongga bertulang untuk bangunan rumah dan gedung, atau edisi terbaru;
        4. SNI 03-3976-1995 tentang tata cara pengadukan pengecoran beton, atau edisi terbaru;
        5. SNI 03-2834-2000 tentang tata cara pembuatan rencana campuran beton normal, atau edisi terbaru; dan
        6. SNI 03-3449-2002 tentang tata cara rencana pembuatan campuran beton ringan dengan agregat ringan, atau edisi terbaru.

Sedangkan untuk perencanaan dan pelaksanaan konstruksi beton pracetak dan prategang harus mengikuti:
        1. Tata Cara Perencanaan dan Pelaksanaan Konstruksi Beton Pracetak dan Prategang untuk Bangunan Gedung;
        2. Metoda Pengujian dan Penentuan Parameter Perencanaan Tahan Gempa Konstruksi Beton Pracetak dan Prategang untuk Bangunan Gedung; dan
        3. Spesifikasi Sistem dan Material Konstruksi Beton Pracetak dan Prategang untuk Bangunan Gedung.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/ atau pedoman teknis.

      1. Konstruksi Baja Perencanaan Konstruksi Baja harus mengikuti:
        1. SNI 03-1729-2002 tentang tata cara perencanaan bangunan baja untuk gedung, atau edisi terbaru;
        2. Tata cara dan/atau pedoman lain yang masih terkait dalam perencanaan konstruksi baja;
        3. Tata Cara Pembuatan atau Perakitan Konstruksi Baja; dan
        4. Tata Cara Pemeliharaan Konstruksi Baja Selama Pelaksanaan Konstruksi.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/ atau pedoman teknis.

      1. Konstruksi Kayu Perencanaan Konstruksi Kayu harus mengikuti:
        1. SNI 03-2407-1994 tentang tata cara pengecatan kayu untuk rumah dan gedung, atau edisi terbaru;
        2. Tata Cara Perencanaan Konstruksi Kayu untuk Bangunan Gedung; dan
        3. Tata Cara Pembuatan dan Perakitan Konstruksi Kayu;
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/ atau pedoman teknis.

      1. Konstruksi Bambu
Perencanaan konstruksi bambu harus memenuhi kaidah-kaidah perencanaan konstruksi berdasarkan pedoman dan standar teknis yang berlaku.

      1. Pedoman Spesifik Untuk Tiap Jenis Konstruksi
Selain pedoman yang spesifik untuk masing-masing jenis konstruksi, standar teknis lainnya yang terkait dalam perencanaan suatu bangunan yang harus mengikuti:
        1. SNI 03-1736-1989 tentang tata cara perencanaan struktur bangunan untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan rumah dan gedung, atau edisi terbaru;
        2. SNI 03-1745-1989 tentang tata cara pemasangan sistem hidran untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan rumah dan gedung, atau edisi terbaru;
        3. SNI 03-1977-1990 tentang tata cara dasar koordinasi modular untuk perancangan bangunan rumah dan gedung, atau edisi terbaru;
        4. SNI 03–2397-1991 tentang tata cara perancangan bangunan sederhana tahan angin, atau edisi terbaru;
        5. SNI 03–2404-1991 tentang tata cara pencegahan rayap pada pembuatan bangunan rumah dan gedung, atau edisi terbaru;
        6. SNI 03–2405-1991 tentang tata cara penanggulangan rayap pada bangunan rumah dan gedung dengan termitisida, atau edisi terbaru;
        7. SNI 03-1735-2000 tentang tata cara perencanaan bangunan dan lingkungan untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan rumah dan gedung, atau edisi terbaru;

Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/ atau pedoman teknis.

    1. Struktur Bawah Bangunan Gedung
      1. Pondasi Langsung
        1. Kedalaman pondasi langsung harus direncanakan sedemikian rupa sehingga dasarnya terletak di atas lapisan tanah yang mantap dengan daya dukung tanah yang cukup kuat dan selama berfungsinya bangunan tidak mengalami penurunan yang melampaui batas.
        2. Perhitungan daya dukung dan penurunan pondasi dilakukan sesuai teori mekanika tanah yang baku dan lazim dalam praktek, berdasarkan parameter tanah yang ditemukan dari penyelidikan tanah dengan memperhatikan nilai tipikal dan korelasi tipikal dengan parameter tanah yang lain.
        3. Pelaksanaan pondasi langsung tidak boleh menyimpang dari rencana dan spesifikasi teknik yang berlaku atau ditentukan oleh perencana ahli yang memiiki sertifikasi sesuai.
        4. Pondasi langsung dapat dibuat dari pasangan batu atau konstruksi beton bertulang.

      1. Pondasi Dalam
        1. Pondasi dalam pada umumnya digunakan dalam hal lapisan tanah dengan daya dukung yang cukup terletak jauh di bawah permukaan tanah, sehingga penggunaan pondasi langsung dapat menyebabkan penurunan yang berlebihan atau ketidakstabilan konstruksi.
        2. Perhitungan daya dukung dan penurunan pondasi dilakukan sesuai teori mekanika tanah yang baku dan lazim dalam praktek, berdasarkan parameter tanah yang ditemukan dari penyelidikan tanah dengan memperhatikan nilai tipikal dan korelasi tipikal dengan parameter tanah yang lain.
        3. Umumnya daya dukung rencana pondasi dalam harus diverifikasi dengan percobaan pembebanan, kecuali jika jumlah pondasi dalam direncanakan dengan faktor keamanan yang jauh lebih besar dari faktor keamanan yang lazim.
        4. Percobaan pembebanan pada pondasi dalam harus dilakukan dengan berdasarkan tata cara yang lazim dan hasilnya harus dievaluasi oleh perencana ahli yang memiliki sertifikasi sesuai.
        5. Jumlah percobaan pembebanan pada pondasi dalam adalah 1% dari jumlah titik pondasi yang akan dilaksanakan dengan penentuan titik secara random, kecuali ditentukan lain oleh perencana ahli serta disetujui oleh Dinas Bangunan.
        6. Pelaksanaan konstruksi bangunan gedung harus memperhatikan gangguan yang mungkin ditimbulkan terhadap lingkungan pada masa pelaksanaan konstruksi.
        7. Dalam hal lokasi pemasangan tiang pancang terletak di daerah tepi laut yang dapat mengakibatkan korosif harus memperhatikan pengamanan baja terhadap korosi.
        8. Dalam hal perencanaan atau metode pelaksanaan menggunakan pondasi yang belum diatur dalam SNI dan/ atau mempunyai paten dengan metode konstruksi yang belum dikenal, harus mempunyai sertifikat yang dikeluarkan instansi yang berwenang.
        9. Apabila perhitungan struktur menggunakan perangkat lunak, harus menggunakan perangkat lunak yang diakui oleh asosiasi terkait. Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/ atau pedoman teknis.

    1. Keandalan Bangunan Gedung
      1. Keselamatan Struktur
        1. Untuk menentukan tingkat keandalan struktur bangunan, harus dilakukan pemeriksaan keandalan bangunan secara berkala sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman/ Petunjuk Teknis Tata Cara Pemeriksaan Keandalan Bangunan Gedung.
        2. Perbaikan atau perkuatan struktur bangunan harus segera dilakukan sesuai rekomendasi hasil pemeriksaan keandalan bangunan gedung, sehingga bangunan gedung selalu memenuhi persyaratan keselamatan struktur.
        3. Pemeriksaan keandalan bangunan gedung dilaksanakan secara berkala sesuai klasifikasi bangunan, dan harus dilakukan atau didampingi oleh ahli yang memiliki sertifikasi sesuai.

      1. Keruntuhan Struktur Untuk mencegah terjadinya keruntuhan struktur yang tidak diharapkan, pemeriksaan keandalan bangunan harus dilakukan secara berkala sesuai dengan pedoman/ petunjuk teknis yang berlaku.

      1. Persyaratan Bahan
        1. Bahan struktur yang digunakan harus sudah memenuhi semua persyaratan keamanan, termasuk keselamatan terhadap lingkungan dan pengguna bangunan, serta sesuai standar teknis (SNI) yang terkait.
        2. Bahan yang dibuat atau dicampurkan di lapangan, harus diproses sesuai dengan standar tata cara yang baku untuk keperluan yang dimaksud.
        3. Bahan bangunan prefabrikasi harus dirancang sehingga memiliki sistem hubungan yang baik dan mampu mengembangkan kekuatan bahan-bahan yang dihubungkan, serta mampu bertahan terhadap gaya angkat pada saat pemasangan/ pelaksanaan.

Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.


Persyaratan Kesehatan Gedung

              1. Persyaratan Sistem Penghawaan
                1. Persyaratan Ventilasi
                  1. Setiap bangunan gedung harus mempunyai ventilasi alami dan/ atau ventilasi mekanik/ buatan sesuai dengan fungsinya.
                  2. Bangunan gedung tempat tinggal, bangunan gedung pelayanan kesehatan khususnya ruang perawatan, bangunan gedung pendidikan khususnya ruang kelas, dan bangunan pelayanan umum lainnya harus mempunyai bukaan permanen, kisi-kisi pada pintu dan jendela dan/ atau bukaan permanen yang dapat dibuka untuk kepentingan ventilasi alami.
                  3. Persyaratan Umum: Jika ventilasi alami tidak mungkin dilaksanakan, maka diperlukan ventilasi mekanis seperti pada bangunan fasilitas tertentu yang memerlukan perlindungan dari udara luar dan pencemaran.

      1. Persyaratan teknis sistem ventilasi, kebutuhan ventilasi, harus mengikuti:
          1. SNI 03-6390-2000 tentang konservasi energi sistem tata udara pada bangunan gedung;
          2. SNI 03-6572-2001 tentang tata cara perancangan sistem ventilasi dan pengkondisian udara pada bangunan gedung, atau edisi terbaru;
          3. Standar tentang tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan sistem ventilasi;
          4. Standar tentang tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan sistem ventilasi mekanis.

Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.

              1. Persyaratan Sistem Pencahayaan
  1. Persyaratan sistem pencahayaan pada bangunan gedung meliputi:
                  1. Setiap bangunan gedung untuk memenuhi persyaratan sistem pencahayaan harus mempunyai pencahayaan alami dan/ atau pencahayaan buatan, termasuk pencahayaan darurat sesuai dengan fungsinya.
                  2. Bangunan gedung pendidikan, harus mempunyai bukaan untuk pencahayaan alami.
                  3. Pencahayaan alami harus optimal, disesuaikan dengan fungsi bangunan gedung dan fungsi masing-masing ruang di dalam bangunan gedung.
                  4. Pencahayaan buatan harus direncanakan berdasarkan tingkat iluminasi yang dipersyaratkan sesuai fungsi ruang-dalam bangunan gedung dengan mempertimbangkan efisiensi, penghematan energi yang digunakan, dan penempatannya tidak menimbulkan efek silau atau pantulan.
                  5. Pencahayaan buatan yang digunakan untuk pencahayaan darurat harus dipasang pada bangunan gedung dengan fungsi tertentu, serta dapat bekerja secara otomatis dan mempunyai tingkat pencahayaan yang cukup untuk evakuasi yang aman.
                  6. Semua sistem pencahayaan buatan, kecuali yang diperlukan untuk pencahayaan darurat, harus dilengkapi dengan pengendali manual, dan/ atau otomatis, serta ditempatkan pada tempat yang mudah dicapai/ dibaca oleh pengguna ruang.
                  7. Pencahayaan alami dan buatan diterapkan pada ruangan baik di dalam bangunan maupun di luar bangunan gedung.

  1. Persyaratan pencahayaan harus mengikuti:
  1. SNI 03-6197-2000 tentang konservasi energi sistem pencahayaan buatan pada bangunan gedung, atau edisi terbaru;
  2. SNI 03-2396-2001 tentang tata cara perancangan sistem pencahayaan alami pada bangunan gedung, atau edisi terbaru;
  3. SNI 03-6575-2001 tentang tata cara perancangan sistem pencahayaan buatan pada bangunan gedung, atau edisi terbaru.

Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/ atau pedoman teknis.

              1. Persyaratan Penggunaan Bahan Bangunan Gedung
  1. Bahan bangunan gedung yang digunakan harus aman bagi kesehatan pengguna bangunan gedung dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.

  1. Penggunaan bahan bangunan yang aman bagi kesehatan pengguna bangunan gedung harus tidak mengandung bahan-bahan berbahaya/ beracun bagi kesehatan, aman bagi pengguna bangunan gedung.

  1. Penggunaan bahan bangunan yang tidak berdampak negatif terhadap lingkungan harus:
  1. menghindari timbulnya efek silau dan pantulan bagi pengguna bangunan gedung lain, masyarakat, dan lingkungan sekitarnya;
  2. menghindari timbulnya efek peningkatan temperatur lingkungan di sekitarnya;
  3. mempertimbangkan prinsip-prinsip konservasi energi; dan
  1. menggunakan bahan-bahan bangunan yang menunjang pelestarian lingkungan.

  1. Harus menggunakan bahan bangunan yang menunjang pelestarian lingkungan.

Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/ atau pedoman teknis.


  1. Sub-Pilar 3: Standar Kinerja (Performance Standard)

Standar Kinerja Sekolah Aman dari Bencana menurut Peraturan Kepala BNPB Nomor 4 tahun 2012 adalah kebijakan standar-standar bangunan sekolah aman dalam hal mengalokasikan anggaran bagi perencanaan, pemantauan, evaluasi yang dilakukan oleh BNPB, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Pemerintah Daerah, dan BPBD.

Kegiatan konstruksi fisik terdiri atas:
    1. Melakukan pemeriksaan dan penilaian dokumen untuk pelaksanaan konstruksi fisik, baik dari segi kelengkapan maupun segi kebenarannya;
    2. Menyusun program kerja yang meliputi jadwal waktu pelaksanaan, jadwal pengadaan bahan, jadwal penggunaan tenaga kerja, dan jadwal penggunaan peralatan berat;
    3. Melaksanakan persiapan di lapangan sesuai dengan pedoman pelaksanaan;
    4. Menyusun gambar pelaksanaan/ gambar kerja (shop drawings) untuk pekerjaan-pekerjaan yang memerlukannya;
    5. Melaksanakan pekerjaan konstruksi fisik di lapangan sesuai dengan dokumen pelaksanaan;
    6. Melaksanakan pelaporan pelaksanaan konstruksi fisik, melalui rapat-rapat lapangan, laporan harian, laporan mingguan, laporan bulanan, laporan kemajuan pekerjaan, laporan persoalan yang timbul/ dihadapi, dan surat-menyurat;
    7. Membuat gambar-gambar yang sesuai dengan pelaksanaan di lapangan (as built drawings)5 yang selesai sebelum serah terima I (pertama), setelah disetujui oleh konsultan manajemen konstruksi atau konsultan pengawas konstruksi dan diketahui oleh konsultan perencana konstruksi;
    8. Melaksanakan perbaikan kerusakan-kerusakan yang terjadi di masa pemeliharaan konstruksi;


  1. Sub Pilar 4: Desain yang Tahan Terhadap Bencana (Disaster Resilience Design)

Dalam hal desain dan penataan kelas, pengaturan ruang kelas harus ideal sehingga memiliki risiko sekecil mungkin bila sewaktu-waktu terjadi bencana mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.29 tahun 2006. Beberapa hal yang harus ditambahkan dalam mendesain dan menata ruang kelas sekolah/ madrasah aman dari bencana antara lain:
    1. tiap kelas harus memiliki dua pintu dengan pintu membuka keluar;

    1. memiliki jalur evakuasi dan akses yang aman yang dapat dicapai dengan mudah dan dilengkapi penunjuk arah yang jelas dan dikenal dengan baik oleh anak, termasuk anak berkebutuhan khusus terutama jika terjadi bencana kebakaran, gempabumi dan/ atau bencana lainnya;


    1. Memiliki titik kumpul yang mudah dijangkau


Selain ketiga hal tersebut di atas, desain dan penataan kelas meliputi antara lain:
  • Perletakan meja dan kursi kelas memperhatikan ruang gerak yang nyaman bagi pemakai kursi roda serta pada kondisi darurat;
  • Meja dan kursi kuat agar dapat menjadi tempat berlindung sementara ketika terjadi gempa/ angin rebut;
  • Stop kontak tinggi bisa ditutup, saklar rendah dengan ketinggian ± 1,5 m;
  • Perletakan lemari dan segala hiasan dinding dalam ruang kelas harus kuat.

Berikut di bawah ini desain dan penataan kelas yaitu:


  1. Sub-Pilar 5: Pelatihan bagi Pembuat Bangunan

Pelatihan bagi pembuat bangunan (tukang) dilakukan mengacu kepada standar teknis pembangunan bangunan gedung Negara, sehingga teknisi, tukang, dan kontraktor paham akan cara memperkuat gedung sekolah agar aman terhadap gempa. Dalam pelatihan ini dijelaskan tentang konsep perencanaan dan pengawasan konstruksi bangunan sekolah tahan gempa. Ini antara lain menyangkut pengertian gempa bumi, perencanaan dan perhitungan struktur bangunan sekolah sehingga tahan gempa, pengawasan pelaksanaan pembangunan sekolah tahan gempa, dan akibat gempa bumi terhadap komponen non-struktur bangunan. Selain itu, materi lain menyangkut prototipe perencanaan bangunan tahan gempa, teknik pemeliharaan bangunan gedung sekolah, petunjuk pelaksanaan pemberian bantuan subsidi sarana prasarana gedung pendidikan, serta pedoman pengawasan pelaksanaan bangunan sekolah. Setelah itu, peserta juga melakukan simulasi dan berdiskusi dalam membuat desain bangunan tahan gempa.

Mengapa konstruksi bangunan tahan gempa? Hal ini yang dipilih mengingat kondisi geografis Indonesia yang terletak di daerah gempa dan fungsi sekolah sebagai hunian sementara (huntara) bagi masyarakat yang mengungsi jika terjadi bencana alam. Karena itu, kualitas bangunan sekolah harus lebih baik dan harus tahan terhadap gempa. Dari pelatihan ini diharapkan peserta memperoleh pengetahuan tentang perencanaan, pengawasan, atau struktur konstruksi bangunan sekolah tahan gempa. Pengetahuan yang diperoleh dari pelatihan ini pula yang akan diterapkan dalam pelaksanaan rehabilitasi gedung sekolah yang rusak akibat gempa bumi.

Gambaran umum pengetahuan awal pembuat bangunan berdasarkan indikator secara berurutan adalah sebagai berikut:
  1. Pengetahuan mengenai istilah bangunan tahan gempa.
Pengetahuan mengenai istilah bangunan tahan gempa merupakan indikator yang paling rendah yang dimiliki pembuat bangunan.
  1. Konsep dasar bangunan tahan gempa.
Pembuat bangunan yang sudah mengetahui dan memahami konsep dasar bangunan tahan gempa. Mereka mendapatkan pengetahuan teknik membangun secara turun-temurun yang tidak memperhatikan kaidah konstruksi bangunan tahan gempa.
  1. Pelaksanaan pekerjaan untuk menghasilkan bangunan tahan gempa.
  2. Pengetahuan mengenai bahan bangunan.
Pengetahuan awal pembuat bangunan mengenai bahan bangunan merupakan pengetahuan awal terbaik yang sudah dimiliki oleh mereka.

Bangunan yang dirancang untuk tahan terhadap gempa pada prinsipnya harus menjamin keamanan dan kenyamanan pengguna bangunan. Untuk menghasilkan bangunan yang berkualitas, pembangunan harus didukung oleh penggunaan material yang bermutu dan tenaga kerja yang terampil. Hasil akhir yang diharapkan dari bangunan tahan gempa ini adalah tercapainya kinerja bangunan, yaitu:
  1. Bangunan tidak mengalami kerusakan pada elemen struktural maupun non-struktural saat terjadi gempa ringan.
  2. Pada saat terjadi gempa sedang, bangunan boleh mengalami kerusakan yang dapat diperbaiki pada elemen non-struktural, sedangkan elemen struktural tidak boleh mengalami kerusakan.
  3. Pada saat terjadi gempa kuat, bangunan boleh mengalami kerusakan pada elemen struktural dan non-struktural, tetapi bangunan tidak boleh runtuh.
Adapun elemen struktural tersebut berupa : kolom, balok, kuda-kuda, sambungan, dan elemen non-struktural berupa: dinding bata biasa, atap, jendela, pintu, dan ventilasi.

Pada dasarnya bangunan tahan gempa terdiri atas beberapa elemen penting yang membentuk suatu kesatuan. Elemen-elemen penting yang bekerja sama membentuk suatu kesatuan untuk memikul beban gempa tersebut adalah:
  1. Elemen tegak (vertikal), yang berfungsi menyalurkan berat bangunan ke pondasi dan menahan beban luar. Contoh: kolom, dinding, dan pengaku/ bresing (bracing).
  2. Elemen datar (horisontal), yang berfungsi mengikat elemen tegak dan menyalurkan beban ke elemen tegak. Contoh: balok dan diafragma (lantai dan atap).
  3. Sistem pondasi, yang berfungsi mengikat dinding dan menyalurkan berat bangunan ke tanah dasar.
  4. Sambungan, yang berfungsi mengikat elemen bangunan menjadi satu kesatuan. Contoh: sambungan balok kolom, angkur, sambungan paku, dll.

Untuk memenuhi kinerja bangunan yang diharapkan, maka harus dipenuhi persyaratan bangunan tahan gempa sebagai berikut:
  1. Bangunan harus terletak di atas tanah yang stabil
  2. Denah bangunan sebaiknya sederhana dan simetris
  3. Kualitas material dan campuran beton serta spesi/ mortar harus memadai.
  4. Sloof6 diangkur ke pondasi.
  5. Adanya balok ring yang diikat kaku dengan kolom.
  6. Setiap luasan dinding 10 m2 harus dipasang kolom praktis.
  7. Dinding pasangan bata/ batako dipasang angkur setiap jarak vertikal 30 cm yang dijangkarkan ke kolom.
  8. Seluruh kerangka bangunan harus terikat secara kokoh dan kaku.
  9. Rangka kuda-kuda, pada titik sambungan kayu diberi baut dan plat pengikat.
  10. Usahakan atap terbuat dari material yang ringan
  11. Pelaksanaan konstruksi harus baik. Proses konstruksi menentukan kualitas dan kinerja bangunan, sedapat mungkin menggunakan teknologi lokal, tenaga pelaksana yang terlatih dan memerlukan pengawasan intensif selama proses konstruksi untuk menjamin kualitas bangunan.

Perencanaan bangunan sekolah ini mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
  1. Kondisi alam (termasuk keadaan geologi dan geofisik), kondisi teknik, dan keadaan ekonomi pada suatu daerah di mana bangunan gedung sekolah ini akan dibangun,
  2. Standar Nasional Indonesia (SNI) dan peraturan yang terkait dengan perencanaan struktur bangunan seperti :
  • SNI-03-1726-2002 tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Bangunan.
  • SNI-03-1726-2002 (revisi) tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Rumah dan Gedung
  • RSNI T-02-2003 tentang Tata Cara Perencanaan Konstruksi Kayu Indonesia
  • SNI 03-1729-2002 tentang Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan.
  • SNI 03-6816-2002 tentang Tata Cara Pendetailan Penulangan Beton Bertulang Indonesia.
  • Permendiknas No. 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk SD, SMP, dan SMA.
  1. Kerusakan-kerusakan akibat gempa bumi yang pernah terjadi pada gedung dari hasil penelitian yang telah dilakukan di Indonesia.
  2. Sistem struktur untuk bangunan gedung dan rumah tinggal pada umumnya hanya mengunakan dua macam sistem struktur, yaitu:
  • Struktur dinding pemikul;
  • Struktur rangka pemikul yang terdiri dari struktur rangka sederhana dengan dinding pengisi untuk menahan beban lateral (beban gempa) secara bersama-sama, dan struktur rangka balok dan kolom kaku untuk menahan beban lateral (dinding pengisi tidak diperhitungkan memikul beban).

Program pelatihan konstruksi bangunan tahan gempa berdasarkan karakteristik wilayah penelitian dan kebutuhan untuk menghasilkan bangunan tahan gempa. Pendekatan pembelajaran berdasarkan pada pembelajaran orang dewasa dan menggunakan metode pelatihan partisipatif.

Pelatihan konstruksi bangunan tahan gempa telah memberikan dampak positif pada peningkatan pengetahuan dan pemahaman pembuat bangunan mengenai konstruksi bangunan tahan gempa. Secara berurutan dampak pelatihan telah memberikan peningkatan pengetahuan dan pemahaman pembuat bangunan mengenai istilah bangunan tahan gempa, konsep dasar bangunan tahan gempa, pelaksanaan pekerjaan untuk menghasilkan bangunan tahan gempa, dan pengetahuan pembuat bangunan untuk menghasilkan bangunan tahan gempa.

Program pelatihan yang dikembangkan memiliki keunggulan karena dikembangkan dari kebutuhan pembuat bangunan untuk menghasilkan bangunan tahan gempa, berdasarkan pendidikan orang dewasa, dengan model pembelajaran partisipatif. Penilaian terhadap hasil pelatihan dilakukan untuk mengetahui perubahan pengetahuan, sikap dan tingkah laku peserta pelatihan. Sedangkan penilaian terhadap pengaruh pelatihan adalah untuk mengetahui sejauh mana hasil belajar mempunyai dampak terhadap kehidupan peserta pelatihan.


6. Sub-Pilar 6: Pengawasan Konstruksi

Kegiatan pengawasan konstruksi mengacu pada Peraturan Kepala BNPB No. 4 tahun 2012, di mana Sumber Daya Manusia (SDM) yang melaksanakan perencanaan, pelaksanaan konstruksi, pengawasan, pemeliharaan, perawatan, perbaikan maupun pemeriksaan berkala bangunan harus mempunyai kompetensi dan keahlian dalam bidang yang terkait penyelenggaraan bangunan sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

Selain itu, pengawasan terhadap konstruksi merupakan bagian dari kegiatan manajemen konstruksi, dan berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum 45 tahun 2007, kegiatan pengawasan konstruksi terdiri dari:
  1. memeriksa dan mempelajari dokumen untuk pelaksanaan konstruksi yang akan dijadikan dasar dalam pengawasan pekerjaan di lapangan;
  2. mengawasi pemakaian bahan, peralatan dan metode pelaksanaan, serta mengawasi ketepatan waktu, dan biaya pekerjaan konstruksi;
  3. mengawasi pelaksanaan pekerjaan konstruksi dari segi kualitas, kuantitas, dan laju pencapaian volume/ realisasi fisik;
  4. mengumpulkan data dan informasi di lapangan untuk memecahkan persoalan yang terjadi selama pekerjaan konstruksi;
  5. menyelenggarakan rapat-rapat lapangan secara berkala, membuat laporan mingguan dan bulanan pekerjaan manajemen konstruksi, dengan masukan hasil rapat-rapat lapangan, laporan harian, mingguan dan bulanan pekerjaan konstruksi fisik yang dibuat oleh pelaksana konstruksi;
  6. meneliti gambar-gambar untuk pelaksanaan (shop drawings) yang diajukan oleh pelaksana konstruksi;
  7. meneliti gambar-gambar yang sesuai dengan pelaksanaan di lapangan (As Built Drawings) sebelum serah terima I;
  8. menyusun daftar cacat/ kerusakan sebelum serah terima I (pertama), dan mengawasi perbaikannya pada masa pemeliharaan;
  9. bersama-sama dengan penyedia jasa perencanaan menyusun petunjuk pemeliharaan dan penggunaan bangunan gedung;
  10. menyusun berita acara persetujuan kemajuan pekerjaan, serah terima pertama, berita acara pemeliharaan pekerjaan dan serah terima kedua pekerjaan konstruksi, sebagai kelengkapan untuk pembayaran angsuran pekerjaan konstruksi;
  11. membantu pengelola kegiatan dalam menyusun Dokumen Pendaftaran;
  12. membantu pengelola kegiatan dalam penyiapan kelengkapan dokumen Sertifikat Laik Fungsi (SLF) dari Pemerintah Kabupaten/Kota setempat.

Selain dari menggunakan Permen PU tersebut di atas, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga memiliki acuan bagi satuan pendidikan yang mendapatkan bantuan sosial untuk fisik bangunan.

Mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 24 tahun 2013 tentang Pedoman Umum Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Belanja Bantuan Sosial di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jenis bantuan sosial di bidang pendidikan dan kebudayaan meliputi:
  1. pembangunan fisik dan non fisik;
  2. rehabilitasi fisik;
  3. pengadaan sarana dan prasarana;
  4. pelaksanaan kegiatan lainnya di bidang pendidikan dan kebudayaan; dan
  5. beasiswa.

Bantuan sosial dalam bentuk uang yang digunakan oleh penerima bantuan sosial untuk pengadaan barang dan/ atau jasa dikerjakan/ dihasilkan sendiri oleh penerima bantuan sosial secara swakelola. Di dalam peraturan tersebut juga disebutkan bahwa petunjuk teknis paling sedikit memuat pengawasan dan pemeriksaan.

Setiap tahunnya pengawas dari Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melakukan tugas pengawasan untuk dana bantuan sosial (bansos) di satuan pendidikan. Pengawasan dilakukan di 34 Provinsi, di mana kabupaten/ kota yang dilakukan pengawasan dipilih dengan metode sampling, yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah tim yang ada di tiap provinsi.

Selain Inspektorat Jenderal, unit teknis terkait pemberi bantuan juga melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi (monev) seperti yang diatur pada Petunjuk Teknis pelaksanaan bansos di tiap direktorat teknis. Kegiatan monitoring dan evaluasi dilakukan ke seluruh provinsi dengan jumlah sasaran kabupaten/ kota lebih banyak dari sasaran yang dimiliki Inspektorat Jenderal untuk tiap provinsinya. Saat turun ke lokasi, petugas monitoring dan evaluasi memeriksa berkas-berkas administrasi yang dipersyaratkan seperti dalam petunjuk teknis monitoring dan evaluasi seperti rekening koran milik sekolah, SK pembentukan TPRK (Tim Pembangunan Ruang Kelas), foto perkembangan sekolah, laporan keuangan, dan lainnya. Selain memeriksa dokumen administrasi, petugas juga melihat langsung kondisi fisik bangunan yang sudah dilaksanakan perbaikan dan pembangunannya dan mencatat pada form yang dibawa oleh petugas. Petugas monitoring dan evaluasi juga mengambil gambar seluruh perkembangan pembangunan mulai dari 0% sampai dengan 100% atau sampai perkembangan terakhir saat dilakukan kegiatan monitoring dan evaluasi. Untuk rehabilitasi/ pembangunan ruang kelas baru yang menggunakan dana APBD Kabupaten/ Kota maka pengawasannya dilakukan oleh pengawas dari Inspektorat Daerah setempat.

  1. Sub pilar 7: Kontrol terhadap Kualitas

Kontrol terhadap kualitas mengacu pada Peraturan Kepala BNPB No. 4 tahun 2012, di mana media massa berperan sebagai alat kontrol dalam penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana. Selain itu, juga mengacu kepada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 45 tahun 2007, yang dilakukan melalui hal-hal berikut:
  1. Pembinaan dan pengawasan teknis pembangunan bangunan gedung negara dilaksanakan oleh Departemen Pekerjaan Umum c.q. Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya kepada Pengguna Anggaran, Penyedia Jasa Konstruksi, dan pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya.
  2. Pembinaan teknis dilaksanakan melalui bimbingan teknis untuk menggunakan pedoman teknis ini (Pedoman Teknis Pembangunan Gedung Negara), Standar Nasional Indonesia (SNI), Dan Pedoman/ Petunjuk Teknis yang ditetapkan oleh Menteri Pekerjaan Umum.
  3. Pembinaan teknis antara lain dilaksanakan melalui pemberian bantuan teknis informasi dan bantuan tenaga teknis untuk menjadi: Kepala Satuan Kerja/ Pejabat Pembuat Komitmen, panitia, pengelola teknis, tim teknis maupun tenaga ahli teknis lainnya.
  4. Pembinaan teknis juga dilakukan melalui pemberian bantuan kegiatan untuk pembangunan bangunan gedung yang bersifat strategis sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Pekerjaan Umum.
  5. Pengawasan teknis dilaksanakan dengan melakukan pengawasan terhadap penerapan pedoman teknis pembangunan gedung negara, Standar Nasional Indonesia, dan Pedoman Teknis yang ditetapkan oleh Menteri Pekerjaan Umum, dengan tujuan agar sumber daya yang berupa tenaga manusia, biaya, peralatan dan manajemen yang tersedia dapat digunakan secara efektif dan efisien.
  6. Pembinaan dan pengawasan teknis pembangunan bangunan gedung negara dilaksanakan sebagai berikut:
  1. Untuk tingkat nasional dan wilayah DKI Jakarta dilaksanakan oleh Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya;
  2. Untuk wilayah di luar DKI Jakarta (kecuali bangunan gedung fungsi khusus) dilaksanakan oleh Dinas Pekerjaan Umum/ Dinas Teknis Provinsi yang bertanggung jawab dalam pembinaan bangunan gedung.
  1. Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan/ Dinas Pekerjaan Umum/ Dinas Teknis Provinsi yang bertanggung jawab dalam pembinaan bangunan gedung melaporkan hasil pembinaan dan pengawasan teknis pembangunan bangunan gedung negara di wilayahnya kepada Menteri Pekerjaan Umum.

Untuk pembangunan fisik (rehabilitasi dan pembangunan ruang kelas baru) di satuan pendidikan yang menggunakan dana bansos dari APBN, sesuai dengan juknis yang diterbitkan oleh direktorat terkait, satuan pendidikan penerima dana bansos harus membentuk tim pengawas dan perencana pembangunan yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Kepala Sekolah penerima bansos atas rekomendasi atau masukan dari Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota setempat.
  • Tim tersebut memiliki tugas pada tahap perencanaan dan pengawasan.
  • Seluruh anggota tim harus memiliki latar belakang pendidikan yang linear dengan pembangunan fisik bangunan seperti Teknik Sipil, Arsitektur, Drafter/ Juru Gambar, dsb.
  • Tim ini terdiri dari satu orang ketua tim dan beberapa anggota tim.
  • Tim ini bertanggungjawab atas kesesuaian bangunan yang dibangun/ direhabilitasi sesuai dengan standar sarana dan prasarana yang termasuk dalam 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan.

Adapun peraturan yang mengatur tentang standar sarana dan prasarana untuk masing-masing jenjang sebagai berikut:

No.
Jenjang
Dasar Peraturan
1
SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 tahun 2007
2
SDLB, SMPLB, dan SMALB
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 33 tahun 2008
3
SMA/SMK
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 40 tahun 2008


  1. Sub Pilar 8: Pemodelan Ulang (Remodelling) atau Renovasi

Pemodelan ulang (remodelling) secara luas sering digunakan untuk menggambarkan setiap jenis perubahan dari sebuah bangunan yang sudah berdiri. Secara teknis, lebih tepat jika dikatakan bahwa pemodelan ulang adalah berarti mengubah karakter sebuah bangunan atau sebuah bagian dari bangunan. Jadi ketika sebuah gudang berukuran sedang yang menempel dengan ruang perpustakan diubah menjadi laboratorium computer, maka yang dilakukan adalah melakukan pemodelan ulang. Atau ketika ruang rapat kecil digabung dengan ruang guru sehingga menghasilkan ruang guru yang di tengahnya bisa digunakan sebagai tempat rapat, maka yang dilakukan adalah juga melakukan pemodelan ulang.

Renovasi adalah istilah yang lebih spesifik, yang secara harfiah berarti membuat pembaruan. Ruang kelas yang sudah lama atau kuno diperbarui dan dilengkapi dengan papan tulis baru, sistem pencahayaan dan pelistrikan baru (misalnya sakelar diganti, lampu diganti dari lampu neon gantung menjadi lampu tanam yang hemat listrik, dll.) disebut telah direnovasi. Kemudian mengganti jendela lama dengan jendela yang baru adalah termasuk proyek renovasi. Selain itu, renovasi adalah sebuah proses untuk memperbaiki struktur yang rusak atau ketinggalan jaman.

Proses renovasi biasanya dapat dipecah menjadi beberapa tahap, yaitu:
  • Perencanaan dan perancangan/ desain
  • Perbaikan struktur
  • Pembangunan kembali
  • Penyelesaian (finishing)


  1. Sub Pilar 9: Perkuatan (Retrofitting)

Mengacu pada buku Cara Memperbaiki Bangunan Sederhana yang Rusak Akibat Gempa Bumi, Teddy Boen dan Rekan (2010), retrofitting merupakan metode perbaikan pada bangunan dengan penambahan teknologi baru ataupun penggabungan antara teknologi baru pada sistem yang sudah ada/ lama sehingga menciptakan proses perkuatan secara struktural pada bangunan lama dan menjadikan bangunan tersebut menjadi lebih kuat/ tahan terhadap gempa serta lebih efektif dan efisien dalam proses pembangunannya.

Apabila terjadi kerusakan bangunan apakah karena akibat bencana alam (gempa), usia bangunan, dll., maka diperlukan untuk melakukan identifikasi kerusakan bangunan sebelum merekomendasikan perbaikan dan perkuatan (retrofit) bangunan. Pendapat ahli retrofit struktur bangunan: “Jika bangunan yang rusak masih berdiri tegak, tidak perlu dirobohkan karena bisa diperbaiki dan diperkuat (efisien dalam biaya dan waktu)”

Klasifikasi permasalahan:
  1. Sebelum terjadi gempa – Bangunan yang lemah harus diperkuat agar tahan gempa, pemeriksaan (survey) dilakukan dan kemudian dibuat analisanya.
  2. Sesaat setelah terjadi gempa yang merusak – Segera pasang penyanggah sementara untuk menopang komponen yang rusak berat dan mungkin dapat roboh. Setelah itu segera laksanakan perbaikan darurat. Tindakan tersebut diperlukan agar bangunan dapat berfungsi kembali dan tidak roboh akibat gempa susulan.
  3. Setelah keadaan terkendali – Pada tahap ini harus dibedakan tindakan-tindakan retrofitting yang akan dilakukan, yaitu: 1) perbaikan, 2) restorasi, dan 3) perkuatan (dalam hal ini strengthening).

  1. Perbaikan
Tujuan utamanya adalah untuk mengembalikan bentuk arsitektur bangunan agar semua perlengkapan/ peralatan dapat berfungsi kembali. Perbaikan tidak ada kaitan dengan kekuatan struktur.
Tindakan-tindakan yang termasuk kategori perbaikan meliputi:
  • Menambal retak-retak pada tembok, plesteran, dll.
  • Memperbaiki pintu-pintu, jendelan-jendela, mengganti kaca, dll.
  • Memperbaiki kabel-kabel listrik.
  • Memperbaiki pipa air, pipa gas, saluran pembuangan.
  • Membangun kembali dinding-dinding pemisah, pagar.
  • Memplester kembali dinding-dinding.

  1. Restorasi
Tujuannya adalah untuk melakukan perbaikan pada komponen-komponen struktur penahan beban dan mengembalikan kekuatan semula.
Tindakan-tindakan yang termasuk kategori restorasi meliputi:
  • Menginjeksikan air semen atau bahan-bahan epoxy (bila ada) ke dalam retak-retak kecil yang terjadi pada dinding pemikul beban, balok maupun kolom.
  • Menambah jaringan tulangan pada dinding pemikul, balok, maupun kolom yang mengalami retak besar untuk kemudian diplester kembali.
  • Membongkar bagian-bagian dinding yang terbelah dan menggantikannya dengan dinding baru dengan spesi yang lebih kuat dan dijangkar pada portal.
  • Membongkar bagian kolom/ balok yang rusak, memperbaiki tulangannya, lalu dicor kembali.

  1. Perkuatan (strengthening)
Tujuannya adalah membuat bangunan menjadi lebih kuat dari kekuatan semula.
Tindakan-tindakan yang termasuk kategori perkuatan meliputi:
  • Menghilangkan sumber-sumber kelemahan atau yang dapat menyebabkan terjadinya konsentrasi tegangan di bagian-bagian tertentu, antara lain:
    • Penyebaran letak kolom yang tidak simetris
    • Penyebaran letak dinding yang tidak simetris
    • Beda kekakuan yang besar antara lantai yang satu dengan yang lainnya
    • Bukaan-bukaan yang berlebihan
  • Menjadikan bangunan sebagai satu kesatuan dengan jalan mengikat semua komponen penahan beban satu dengan lainnya.
  • Menghindarkan terjadinya kehancuran getas dengan cara memperbaiki, menambah, dan memasang tulangan sesuai dengan detail-detail untuk mencapai daktilitas yang cukup.
  • Menambah daya tahan terhadap beban lateral, dengan jalan menambah dinding, menambah kolom, dll.

Beberapa persyaratan dalam melakukan perbaikan dan perkuatan adalah
  • Perubahan revolusioner terhadap pola konstruksi (sederhana dan sesuai standar Bangunan)
  • Teknik yang diperkenalkan harus mudah ditiru oleh tukang setempat
  • Bahan lokal harus diutamakan
  • Bahan yang dipakai murah
  • Jumlah penambahan biaya harus praktis

Langkah-langkah untuk menganalisa kebutuhan retrofitting sebagai berikut:



Tahapan metode retrofitting dilakukan sebagai berikut:
  1. Persiapkan gambar desain perancangan retrofitting
  2. Pekerjaan persiapan retrofitting, yang dimulai dengan:
  1. Penentuan tenaga kerja/ pembuat bangunan yang handal (kontraktor)
  2. Peralatan kerja yang dibutuhkan (oleh kontraktor pelaksana)
  3. Pengadaan material yang dibutuhkan sesuai dengan spesifikasi teknis dari Dokumen Rekomendasi Retrofitting dan Gambar Desain (dengan pengawasan pihak sekolah / tenaga ahli pendamping)
  4. Joint Survey / pengecekan kembali site sekolah sebagai awal mula pekerjaan dimulai antara kontraktor pelaksana, pihak sekolah dan tenaga ahli pendamping serta penjelasan mengenai adanya proses Ceklist Bersama antara kontraktor pelaksana – pihak sekolah – tenaga ahli pendamping.
  1. Pekerjaan perkuatan ikatan pondasi dan sloof
  2. Pekerjaan perkuatan ikatan sloof dan kolom
  3. Pekerjaan perkuatan ikatan kolom dan dinding
  4. Pekerjaan perkuatan permukaan dinding
  5. Pekerjaan perkuatan permukaan dinding akibat retak
  6. Pekerjaan perkuatan ikatan konstruksi atap


IRISAN PILAR 1 DAN PILAR 2

1. Perawatan Gedung atau Pemeliharaan Bangunan
Melaksanakan perawatan/ pemeliharaan bangunan gedung negara, sudah diatur di dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 45/PRT/M 2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Negara. Hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:

  1. Umur Bangunan Dan Penyusutan
    1. Umur bangunan adalah jangka waktu bangunan agar dapat tetap memenuhi fungsi dan keandalan bangunan, sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan. Untuk bangunan gedung negara (termasuk bangunan rumah negara) umur bangunan diperhitungkan 50 tahun;
    2. Penyusutan adalah nilai degradasi bangunan yang dihitung secara sama besar setiap tahunnya selama jangka waktu umur bangunan. Untuk bangunan gedung negara, nilai penyusutan adalah sebesar 2% per tahun untuk bangunan gedung dengan minimum nilai sisa (salvage value) sebesar 20%;
    3. Penyusutan bangunan gedung negara yang dibangun dengan konstruksi semi permanen, penyusutannya sebesar 4% per tahun, sedangkan untuk konstruksi darurat sebesar 10% per tahun dengan minimum nilai sisa (salvage value) sebesar 20%.

  1. Kerusakan Bangunan
Kerusakan bangunan adalah tidak berfungsinya bangunan atau komponen bangunan akibat penyusutan/berakhirnya umur bangunan, atau akibat ulah manusia atau perilaku alam seperti beban fungsi yang berlebih, kebakaran, gempa bumi, atau sebab lain yang sejenis. Intensitas kerusakan bangunan dapat digolongkan atas tiga tingkat kerusakan, yaitu:
    1. Kerusakan ringan – Kerusakan ringan adalah kerusakan terutama pada komponen non-struktural, seperti penutup atap, langit-langit, penutup lantai dan dinding pengisi.
    2. Kerusakan sedang – Kerusakan sedang adalah kerusakan pada sebagian komponen non- struktural, dan atau komponen struktural seperti struktur atap, lantai, dll.
    3. Kerusakan berat – Kerusakan berat adalah kerusakan pada sebagian besar komponen bangunan, baik struktural maupun non-struktural yang apabila setelah diperbaiki masih dapat berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya.
Penentuan tingkat kerusakan dapat ditentukan setelah berkonsultasi dengan Instansi Teknis setempat yang bertanggung jawab terhadap pembinaan bangunan gedung.

  1. Perawatan Bangunan
  1. Perawatan bangunan adalah usaha memperbaiki kerusakan yang terjadi agar bangunan dapat berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya. Perawatan bangunan dapat digolongkan sesuai dengan tingkat kerusakan pada bangunan yaitu:
  1. Perawatan untuk tingkat kerusakan ringan;
  2. Perawatan untuk tingkat kerusakan sedang;
  3. Perawatan untuk tingkat kerusakan berat.
  1. Besarnya biaya perawatan disesuaikan dengan tingkat kerusakannya, yang ditentukan sebagai berikut:
  1. Perawatan tingkat kerusakan ringan, biayanya maksimum adalah sebesar 30% dari harga satuan tertinggi pembangunan bangunan gedung baru yang berlaku, untuk tipe/ kelas dan lokasi yang sama;
  2. Perawatan tingkat kerusakan sedang, biayanya maksimum adalah sebesar 45% dari harga satuan tertinggi pembangunan bangunan gedung baru yang berlaku, untuk tipe/ kelas dan lokasi yang sama;
  3. Perawatan tingkat kerusakan berat, biayanya maksimum adalah sebesar 65% dari harga satuan tertinggi pembangunan bangunan gedung baru yang berlaku, untuk tipe/ kelas dan lokasi yang sama.
  1. Untuk perawatan yang memerlukan penanganan khusus atau dalam usaha meningkatkan wujud bangunan, seperti melalui kegiatan renovasi, besarnya biaya perawatan dihitung sesuai dengan kebutuhan nyata dan dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Instansi Teknis setempat.
  1. Pemeliharaan Bangunan
  1. Pemeliharaan bangunan adalah usaha mempertahankan kondisi bangunan agar tetap memenuhi persyaratan laik fungsi atau dalam usaha meningkatkan wujud bangunan, serta menjaga terhadap pengaruh yang merusak;
  2. Pemeliharaan bangunan juga merupakan upaya untuk menghindari kerusakan komponen/ elemen bangunan akibat keusangan/ kelusuhan sebelum umurnya berakhir;
  3. Besarnya biaya pemeliharaan bangunan gedung tergantung pada fungsi dan klasifikasi bangunan. Biaya pemeliharaan per m2 bangunan gedung setiap tahunnya maksimum adalah sebesar 2% dari harga standar per m2 tertinggi yang berlaku.
  4. Pemeliharaan bangunan gedung sekolah adalah sebagai berikut.
    1. Pemeliharaan ringan, meliputi pengecatan ulang, perbaikan sebagian daun jendela/ pintu, penutup lantai, penutup atap, plafon, instalasi air dan listrik, dilakukan minimum sekali dalam 5 tahun.
    2. Pemeliharaan berat, meliputi penggantian rangka atap, rangka plafon, rangka kayu, kusen, dan semua penutup atap, dilakukan minimum sekali dalam 20 tahun.

Untuk memastikan bangunan sekolah akan berkinerja selama dan sesudah waktu yang tercantum dalam rancangannya, maka menciptakan program pemeliharaan adalah hal yang sangat penting. Program pemeliharaan sekolah yang kuat terdiri dari tiga komponen utama: organisasi, inspeksi dan rencana pemeliharaan.
  1. Organisasi – Suatu struktur dasar organisasi akan meliputi koordinator umum dan orang-orang atau tim yang bertanggung jawab untuk area sekolah tertentu. Bila dana pemeliharaan tidak cukup untuk melakukan tugas pemeliharaan, maka harus dicari seorang koordinator pencari dana. Disarankan untuk mengisi peran ini, diambil dari siswa dan anggota masyarakat.
  2. Rencana pemeliharaan – Rencana pemeliharaan terdiri dari jadwal inspeksi, pihak yang bertanggung jawab, butir-butir inspeksi dan tanggapan korektif yang harus diambil bila timbul masalah.
  3. Inspeksi – Penilaian akhir setelah selesai konstruksi atau kerja retrofit akan dijadikan patokan untuk semua innspeksi di masa depan. Bila pada saat inspeksi rutin ditemukan masalah yang berada di luar kemampuan tim pemelihara untuk menanganinya atau bila bangunan mengalami perubahan besar (seperti kerusakan yang diakibatkan oleh peristiwa bahaya), maka harus dicari saran dari tenaga ahli pendamping yang memenuhi syarat.

Besaran biaya pemeliharaan akan bervariasi, tergantung dari rancangan dan umur bangunan serta ketersediaan sumber daya yang diperlukan untuk melakukan perbaikan. Umumnya anggaran tahunan pemeliharaan berkisar antara 1-2% dari biaya kapital. Memasukkan biaya ulang pemeliharaan ke dalam anggaran konstruksi sekolah atau retrofit akan memberi dukungan untuk jangka yang lebih panjang dalam merawat lingkungan belajar yang aman. Yang juga sering terjadi adalah komunitas sekolah diberikan tanggung jawab dalam memelihara fasilitas sekolah. Disarankan untuk meninjau pemeliharaan dan tugas pelaporan bersama dengan organisasi masyarakat yang bertanggung jawab dan, bila diperlukan, memfasilitasi dalam upaya menentukan peran, tanggung jawab, dokumentasi dan mekanisme pelaporan. Biaya membangun ulang sekolah yang rusak jauh lebih besar dibandingkan biaya pemeliharaan.


2. Mitigasi Non-Struktural

Mitigasi dibagi menjadi dua macam, yaitu mitigasi struktural dan mitigasi non-struktural:
  1. Mitigasi Struktural
Mitigasi struktural merupakan upaya untuk meminimalkan bencana yang dilakukan melalui pembangunan berbagai prasarana fisik dan menggunakan pendekatan teknologi, seperti pembuatan kanal khusus untuk pencegahan banjir, alat pendeteksi aktivitas gunung berapi, bangunan yang bersifat tahan gempa, ataupun Sistem Peringatan Dini yang digunakan untuk memprediksi terjadinya gelombang tsunami.
Mitigasi struktural adalah upaya untuk mengurangi kerentanan (vulnerability) terhadap bencana dengan cara rekayasa teknis bangunan tahan bencana. Bangunan tahan bencana adalah bangunan dengan struktur yang direncanakan sedemikian rupa sehingga bangunan tersebut mampu bertahan atau mengalami kerusakan yang tidak membahayakan apabila bencana yang bersangkutan terjadi. Rekayasa teknis adalah prosedur perancangan struktur bangunan yang telah memperhitungkan karakteristik aksi dari bencana.

  1. Mitigasi Non-Struktural
Mitigasi non-struktural adalah upaya mengurangi dampak bencana selain dari upaya mitigasi struktural tersebut di atas. Bisa dalam lingkup upaya pembuatan kebijakan seperti pembuatan suatu peraturan. Undang-Undang Penanggulangan Bencana No. 24 tahun 2007 adalah upaya non-struktural di bidang kebijakan dari mitigasi ini. Contoh lainnya adalah pembuatan tata ruang kota, peningkatan kapasitas masyarakat, bahkan sampai menghidupkan berbagai aktivitas lain yang berguna bagi penguatan kapasitas masyarakat, juga bagian dari mitigasi ini. Ini semua dilakukan untuk, oleh dan di masyarakat yang hidup di sekitar daerah rawan bencana.

Kebijakan non struktural meliputi legislasi, perencanaan wilayah, dan asuransi. Kebijakan non-struktural lebih berkaitan dengan kebijakan yang bertujuan untuk menghindari risiko yang tidak perlu dan merusak. Tentu, sebelumnya perlu dilakukan identifikasi risiko terlebih dahulu. Penilaian risiko fisik meliputi proses identifikasi dan evaluasi tentang kemungkinan terjadinya bencana dan dampak yang mungkin ditimbulkannya. Kebijakan mitigasi, baik yang bersifat struktural maupun yang bersifat non-struktural, harus saling mendukung antara satu dengan yang lainnya. Pemanfaatan teknologi untuk memprediksi, mengantisipasi dan mengurangi risiko terjadinya suatu bencana harus diimbangi dengan penciptaan dan penegakan perangkat peraturan yang memadai yang didukung oleh rencana tata ruang yang sesuai.
Seringkali terjadinya peristiwa banjir dan tanah longsor pada musim hujan dan kekeringan di beberapa tempat di Indonesia pada musim kemarau sebagian besar diakibatkan oleh lemahnya penegakan hukum dan pemanfaatan tata ruang wilayah yang tidak sesuai dengan kondisi lingkungan sekitar.
Teknologi yang digunakan untuk memprediksi, mengantisipasi dan mengurangi risiko terjadinya suatu bencana pun harus diusahakan agar tidak mengganggu keseimbangan lingkungan di masa depan.


3. Keselamatan dari Kebakaran

Setiap bangunan gedung negara harus mempunyai fasilitas pencegahan dan penanggulangan terhadap bahaya kebakaran, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam:
  • Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Pengamanan terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan dan Lingkungan; dan
  • Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung dan Peraturan Daerah tentang Penanggulangan dan Pencegahan Bahaya Kebakaran;
beserta standar-standar teknis yang terkait.


Persyaratan Kemampuan Bangunan Gedung Terhadap Bahaya Kebakaran:
    1. Sistem Proteksi Pasif
Sistem proteksi pasif adalah sistem perlindungan terhadap kebakaran yang dilaksanakan dengan melakukan pengaturan terhadap komponen bangunan gedung dari aspek arsitektur dan struktur sedemikian rupa sehingga dapat melindungi penghuni dan benda dari kerusakan fisik saat terjadi kebakaran.

Setiap bangunan gedung, kecuali rumah tinggal tunggal dan rumah deret sederhana, harus mempunyai sistem proteksi pasif terhadap bahaya kebakaran yang memproteksi harta milik berbasis pada desain atau pengaturan terhadap komponen arsitektur dan struktur bangunan gedung sehingga dapat melindungi penghuni dan benda dari kerusakan fisik saat terjadi kebakaran. Penerapan sistem proteksi pasif didasarkan pada fungsi/ klasifikasi risiko kebakaran, geometri ruang, bahan bangunan terpasang, dan/ atau jumlah dan kondisi penghuni dalam bangunan gedung. Pada sistem proteksi pasif yang perlu diperhatikan meliputi: persyaratan kinerja, ketahanan api dan stabilitas, tipe konstruksi tahan api, tipe konstruksi yang diwajibkan, kompartemenisasi dan pemisahan, dan perlindungan pada bukaan.

Sistem proteksi pasif tersebut harus mengikuti:
        1. SNI 03-1736-2000 tentang tata cara perencanaan sistem proteksi pasif untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung; dan
        2. SNI 03-1746-2000 tentang tata cara perencanaan dan pemasangan sarana jalan ke luar untuk penyelamatan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.

    1. Sistem Proteksi Aktif
Sistem proteksi aktif adalah sistem perlindungan terhadap kebakaran yang dilaksanakan dengan mempergunakan peralatan yang dapat bekerja secara otomatis maupun manual, digunakan oleh penghuni atau petugas pemadam kebakaran dalam melaksanakan operasi pemadaman. Selain itu sistem ini digunakan dalam melaksanakan penanggulangan awal kebakaran.

Setiap bangunan gedung, kecuali rumah tinggal tunggal dan rumah deret sederhana, harus dilindungi terhadap bahaya kebakaran dengan proteksi aktif. Penerapan sistem proteksi aktif didasarkan pada fungsi, klasifikasi, luas, ketinggian, volume bangunan, dan/ atau jumlah dan kondisi penghuni dalam bangunan gedung.

Pada sistem proteksi aktif yang perlu diperhatikan meliputi:
  • Sistem Pemadam Kebakaran;
  • Sistem Deteksi dan Alarm Kebakaran;
  • Sistem Pengendalian Asap Kebakaran; dan
  • Pusat Pengendali Kebakaran

Sistem proteksi aktif tersebut harus mengikuti:
        1. SNI 03-1745-2000 tentang tata cara perencanaan dan pemasangan sistem pipa tegak dan slang untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung;
        2. SNI 03-3985-2000 tentang tata cara perencanaan, pemasangan dan pengujian sistem deteksi dan alarm kebakaran untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung;
        3. SNI 03-3989-2000 tentang tata cara perencanaan dan pemasangan sistem springkler otomatik untuk untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung;
        4. SNI 03-6571-2001 tentang sistem pengendalian asap kebakaran pada bangunan gedung; dan
        5. SNI 03-0712-2004 tentang sistem manajemen asap dalam mal, atrium, dan ruangan bervolume besar.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/ atau pedoman teknis.

    1. Persyaratan Jalan Keluar dan Aksesibilitas untuk Pemadaman Kebakaran
Persyaratan jalan keluar dan aksesibilitas untuk pemadaman kebakaran meliputi perencanaan akses bangunan dan lingkungan untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung, dan perencanaan dan pemasangan sarana jalan keluar untuk penyelamatan terhadap bahaya kebakaran.

Persyaratan jalan keluar dan aksesibilitas untuk pemadaman kebakaran tersebut harus mengikuti:
        1. SNI 03-1735-2000 tentang tata cara perencanaan akses bangunan dan akses lingkungan untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan rumah dan gedung; dan
        2. SNI 03-1736-2000 tentang tata cara perencanaan dan pemasangan sarana jalan keluar untuk penyelamatan terhadap bahaya kebakaran pada gedung.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.



IRISAN PILAR 1 DAN PILAR 3

1. Pendidikan akan keamanan struktural

Hal-hal yang berhubungan dengan pendidikan akan keamanan struktural antara lain:
  1. Semua bangunan sekolah baru harus lebih aman, dengan memperhatikan panduan dan peraturan terkait dengan konstruksi sekolah aman:
  1. lokasi sekolah yang spesifik, desain, fasilitas sekolah yang aman;
  2. persentase sekolah yang baru berdiri berada di lokasi yang aman dengan desain dan konstruksi yang tahan bencana;
  3. adanya pengkajian akan keamanan sekolah dari bencana, termasuk pengkajian akan risiko dan pemilihan lokasi sekolah.
  1. Sekolah lama yang berdiri, dibangun lebih aman.
  2. Adanya standard bangunan yang menjamin keamanan fasilitas sekolah, dengan memperhatikan:
  1. peraturan mengenai standar bangunan atau panduan internasional untuk penguatan sekolah aman,
  2. pemodelan ulang, rekonstruksi dan pengawasan ditinjau ulang setidaknya 1 kali dalam 10 tahun dengan  fokus pada sebagian besar sekolah yang sudah terbangun;
  3. mekanisme kepatuhan (compliance) dalam inspeksi lokasi sekolah dan desain, serta sertifikasi keamanan sekolah;
  4. skema prioritas dalam perencanaan, identifikasi, penguatan, dan penggantian sekolah.

Selain itu, terkait proses pendidikan akan keamanan struktural, melakukan penilaian fasilitasi sekolah aman di sekolah masing-masing yang mengacu pada indikator mengenai
kerangka kerja operasional untuk semua tahapan konstruksi sekolah yang aman, yaitu antara lain:
  1. adanya panduan dan peraturan untuk konstruksi sekolah dengan cakupan:
  • pemilihan lokasi, desain, konstruksi, inspeksi, dan
  • sertifikasi keamanan sekolah;
  1. adanya daftar periksa (checklist) keamanan bangunan sekolah;
  2. adanya daftar periksa:
  • identifikasi ancaman di sekitar lokasi sekolah berada;
  • persentase sekolah yang memiliki perencanaan, desain,konstruksi, dan pemeliharaan;
  • kebijakan dan prosedur untuk implementasi konstruksi sekolah berbasis masyarakat;
  • pengkajian akan fungsional sekolah (keamanan akan akses ke sekolah, kesesuaian lokasi, dan jalur evakuasi ke luar sekolah);
  • penggunaan metodologi desktop, kajian pengamatan cepat (rapid visual assessment) dan teknik bangunan;
  • penyatuan penguatan bangunan kedalam pemodelan kembali sekolah melalui sistem modern.


2. Konstruksi sebagai Peluang Pembelajaran

Dalam proses pemeliharaan atau rehabilitasi suatu bangunan aman yang meliputi pemeliharaa fasilitas, perawatan atau rehabilitasi bangunan, serta perkuatan (retrofitting), di mana sekolah memiliki kesempatan untuk melakukan rangkaian proses pemeliharaan ini, maka rangkaian proses ini bisa dijadikan sebagai kesempatan bagi guru, peserta didik dan manajemen sekolah untuk mempelajari hal-hal terkait fasilitas yang aman dari bencana.

DAFTAR PUSAKA
  • Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum No. 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan dan Lingkungan;
  • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung
  • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 45/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara
  • Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah (SD/ MI), Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tsanawiyah (SMP/ MTs), dan Sekolah Menengah Atas/ Madrasah Aliyah (SMA/ MA)
  • Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 tahun 2007 tanggal 28 Juni 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah (SD/ MI), Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tsanawiyah (SMP/ MTs), dan Sekolah Menengah Atas/ Madrasah Aliyah (SMA/ MA)
  • Melatih Guru SMK Membangun Sekolah Tahan Gempa – Bangunan Tahan Gempa oleh Tofiknur, SMKN 2 Purwokerto, 23 Februari 2008
  • Cara Memperbaiki Bangunan Sederhana yang Rusak Akibat Gempa Bumi, Teddy Boen dan Rekan, Cetakan Kedua, 2010
  • Pelengkap Panduan Penerapan Sekolah Aman melalui DAK 2011-2012, Oya Rocita
  • Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 24 tahun 2013 tentang Pedoman Umum Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Belanja Bantuan Sosial di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan






BAB III
INDIKATOR KETERCAPAIAN (STANDAR)


Dari segi sarana prasarana sekolah, sekolah aman dapat diartikan sebagai sekolah yang menerapkan standar sarana dan prasarana yang mampu melindungi warga sekolah dan lingkungan di sekitarnya dari bahaya bencana.

Dalam Peraturan Kepala BNPB No. 4 tahun 2012 beberapa indikator sarana prasarana sekolah aman disebutkan sebagai berikut:
  1. Tidak roboh pada waktu mengalami bencana (gempa, tsunami dan dampak gunung api) sesuai dengan perencanaan
    • Bila terjadi gempa ringan, bangunan tidak mengalami kerusakan sama sekali
    • Bila terjadi gempa sedang, bangunan boleh mengalami kerusakan pada elemen non-struktural, tetapi tidak boleh rusak pada elemen-elemen struktural
    • Bila terjadi gempa besar, bangunan boleh mengalami kerusakan pada elemen non-struktural dan elemen struktural, akan tetapi tidak boleh runtuh, baik sebagian maupun keseluruhan, dan kerusakan yang terjadi dapat diperbaiki. Tidak runtuhnya bangunan disebabkan bangunan bersifat daktail. Struktur bangunan gedung harus direncanakan secara daktail sehingga pada kondisi pembebanan maksimum yang direncanakan, apabila terjadi keruntuhan kondisi strukturnya masih dapat memungkinkan pengguna bangunan gedung menyelamatkan diri. (PP 36 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan UU No. 28 Tahun 2002 Bangunan Gedung Pasal 33 Ayat 4)
  1. Tidak membahayakan manusia dari benda-benda yang jatuh, termasuk bahan-bahan berbahaya, baik di dalam maupun di luar bangunan
  2. Desain sekolah memberikan keleluasaan untuk mampu mengevakuasikan orang dalam keadaan darurat secara aman dari dalam bangunan ke tempat yang lebih aman (pintu cukup, terbuka keluar, jalan darurat, dsb.)
  3. Tersedia jalan keluar dan akses yang aman
  4. Sekolah memiliki tempat berkumpul yang aman
  5. Obyek-obyek yang berbahaya di sekitar sekolah dikenali dan dipahami oleh murid dan guru
  6. Rute dan tempat evakuasi darurat dikenali oleh murid dan guru

Selain indikator yang sudah disampaikan di atas (Perka BNPB No. 4 tahun 2012), terdapat indikator Fasilitas Sekolah Aman yang dihasilkan oleh organisasi yang tergabung dalam Global Alliance for Disaster Risk Reduction and Resilience in Education Sector (GADRRRES) dalam Workshop on developing a hierarchy indicators targets for comprehensive school safety at national/ sub-national/ school Level di Bangkok pada 19-21 Februari 2015.

Berikut adalah indikator kunci Inisiatif Dunia untuk Sekolah Aman (Worldwide Initiative on Safe School) akan diluncurkan pada bulan Maret 2015 dengan target setiap sekolah yang baru dibangun akan aman dari bencana:
  1. Adanya Panduan dan Peraturan dari pemerintah untuk Konstruksi Sekolah Aman
    1. Persentase sekolah yang baru berdiri berada di lokasi yang aman dengan desain dan konstruksi yang tempa bencana (hasil workshop)
    2. Adanya pengkajian akan keamanan sekolah dari bencana, termasuk pengkajian akan risiko dan pemilihan lokasi sekolah (UNESCO-GFDRR ARUP)

  1. Pemilihan lokasi sekolah yang aman, desain dan konstruksi dipantau untuk kapatuhan (compliance)/ penegakan oleh pemerintah terkait
    1. adanya daftar periksa (checklist) keamanan bangunan sekolah (Save the Children)
    2. adanya daftar periksa identifikasi ancaman di sekitar lokasi sekolah berada (Save the Children)
    3. persentase sekolah yang memiliki perencanaan,desain,konstruksi, dan pemeliharaan (GFDRR-ARUP)
    4. kebijakan dan prosedur untuk implementasi konstruksi sekolah berbasis masyarakat (hasil workshop)
    5. pengkajian akan fungsional sekolah (keamanan akan akses ke sekolah, kesesuaian lokasi, dan jalur evakuasi keluar sekolah) (hasil workshop)

  1. Perencanaan sistematis dalam pengkajian dan penentuan prioritas untuk penguatan dan penggantian bangunan sekolah yang tidak aman, telah dikembangkan dan sedang dilaksanakan
    1. persentase dari sekolah yang tidak aman diperkuat atau diganti (ASSI)
    2. persentase dari sekolah yang hancur dan rusak karena bencana pada tahun akademik lalu (ASSI)
    3. persentase dari jumlah murid, guru, dan tenaga kependidikan lain yang meninggal karena bencana di lokasi sekolah pada tahun akademik lalu (ASSI)
    4. persentase jumlah murid, guru, dan tenaga kependidikan yang terluka karena bencana di lokasi sekolah pada tahun akademik lalu (ASSI)
    5. persentase jumlah jam belajar yang hilang karena kejadian bencana dalam satu tahun (ASSI)
    6. penyatuan penguatan bangunan ke dalam pemodelan kembali sekolah melalui sistem modern (hasil workshop)
    7. penggunaan metodologi desktop, kajian pengamatan cepat (rapid visual assessment) dan teknik bangunan (hasil workshop)

  1. Perencanaan priositas dalam perbaikan bangunan sekolah yang tidak aman, dilaksanakan dan dikembangkan
    1. peraturan mengenai standar bangunan atau panduan internasional untuk penguatan sekolah aman, pemodelan ulang, rekonstruksi dan pengawasan ditinjau ulang setidaknya 1 kali dalam 10 tahun dengan  fokus pada sebagian besar sekolah yang sudah terbangun (hasil workshop)
    2. mekanisme kepatuhan (compliance) dalam inspeksi lokasi sekolah dan desain, serta sertifikasi keamanan sekolah (hasil workshop)
    3. skema prioritas dalam perencanaan, identifikasi, penguatan, dan penggantian sekolah  (hasil workshop)

  1. Kementerian Pendidikan/ Dinas Pendidikan mempromosikan pemeliharaan rutin dan mitigasi non-struktural dalam meningkatkan keamanan dan perlindungan akan investasi di sekolah negeri
    1. adanya pengetahuan akan mitigasi non-struktural (hasil workshop)
    2. peralatan dan perabotan sekolah diperbaiki untuk memperkecil potensi cedera bagi komunitas sekolah saat terjadinya bencana (hasil workshop)

  1. Perencanaan dilakukan terhadap sekolah yang dipergunakan sebagai tempat penampungan dan pengungsian sementara
    1. adanya perencanaan dan sumberdaya dalam pemenuhan kebutuhan sekolah sebagai tempat penampungan dan pengungsian sementara (hasil workshop)






Selain indikator yang sudah dijelaskan di atas, berikut merupakan tambahan indikator terkait Pilar 1 – Fasilitas sekolah Aman.

Parameter
Indikator
Verifikasi
Sikap dan tindakan

Tersedianya pengetahuan mengenai upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi risiko bencana, terutama mengenai bangunan tahan terhadap bencana (gempa bumi, banjir, longsor, kebakaran Buku/ pedoman/ panduan mengenai sekolah aman, terutama fasiitas sekolah aman yang tersedia di sekolah
Terlaksananya pelatihan pengintegrasian PRB ke dalam KTSP, termasuk fasilitas sekolah aman Jumlah pelatihan yang dilaksanakan oleh sekolah mengenai fasilitas sekolah aman, termasuk bangunan sekolah tahan bencana (gempa, banjir, longsor, kebakaran.
Kebijakan sekolah

Adanya kebijakan, kesepakatan dan/ atau peraturan sekolah yang mendukung upaya pengurangan risiko bencana di sekolah, terutama dari segi fasilitas sekolah yang aman Dokumen kebijakan sekolah yang memuat dan/ atau mengadopsi persyaratan konstruksi bangunan dan panduan retrofit yang ada atau yang berlaku.
SMK Bangunan memuat pelajaran mengenai bangunan sekolah tahan gempa, rehabilitasi bangunan paska gempa/bencana, termasuk pendekatan ‘retrofitting’ atau ‘perkuatan’


SMK Bangunan memfasilitasi Komite Pembangunan Sekolah dalam rangka menerapkan/ mempraktekan ilmu yang dipelajari sekaligus memenuhi kekurangan tenaga ahli bangunan tahan gempa atau jenis bencana lainnya
Untuk SMK Bangunan terdapat bahan ajar baik teori maupun praktek mengenai bangunan tahan gempa, retrofitting atau perkuatan sebagai salah satu metode rehabilitasi/ perbaikan.

Daftar SMK yang mempunyai sertifikasi memfasilitasi pembangunan gedung sekolah baru atau rehabilitasi gedung sekolah rusak yang mempunyai keahlian/ pengetahuan bangunan tahan gempa atau bencana lainnya
Perencanaan kesiapsiagaan
Tersedianya perencanaan jangka menengah pengembangan gedung sekolah, penambahan ruang kelas baru/ pengurangan ruang kelas, penambahan bangunan tambahan (misalnya kantin, mushola, perpustakaan, dll.) yang menerapkan fasilitas sekolah aman

Tersedianya dokumen penilaian risiko bencana yang disusun bersama secara partisipatif dengan warga sekolah dan pemangku kepentingan sekolah




Gambar tata letak/ denah sekolah dan atau maket yang menunjukan jalur evakuasi





Dokumen penilaian kerentanan gedung sekolah yang dinilai/ diperiksa secara berkala oleh Pemerintah dan/atau Pemda. Kerentanan sekolah yang dinilai berdasarkan aspek struktur dan non-struktur (interior, tata letak, pintu dll.)
Pelaksanaan
Sekolah mempunyai panitia rehabilitasi sekolah/ ruang kelas, pembangunan ruang baru yang memahami prinsip-prinsip fasilitas sekolah aman dan menerapkannya dalam pembangunan fasilitas sekolah


Sekolah secara berkala menguji kualitas struktur bangunannya dan mengisi form yang tersedia

Sekolah mempunyai panduan untuk pemeliharaan gedung sekolah


Jumlah SMK yang memfasilitasi pembangunan gedung sekolah baru/ merehabilitasi perbaikan gedung sekolah rusak dengan menerapkan prinsip sekolah aman.
Laporan panitia rehabilitasi sekolah/ruang kelas, pembangunan ruang baru atau rehabilitasi ruang yang rusak dengan melaporkan bagaimana prinsip fasilitas sekolah aman diterapkan

Disertai dengan laporan pengujian



Dokumen prosedur pemeliharaan gedung sekolah, ruang kelas, interior/ tata letak

Laporan Guru/ Kepala Sekolah mengenai pelaksanaan praktek lapangan atau perjanjian sebagai tenaga profesional bangunan tahan gempa
Monitoring dan Evaluasi
Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota bersama-sama dengan melakukan pendataan terhadap kondisi sekolah, untuk kemudian dilaporkan ke Dinas Pendidikan Provinsi dan ke Kemendikbud

Tersedianya panduan untuk monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan sekolah baru/ rehabilitasi sekolah rusak yang menerapakan fasilitas sekolah aman




Pemda/ Dinas melaksanakan monitoring penerapan fasiltas sekolah aman dalam pembangunan sekolah/ ruang kelas baru dan rehabilitasi ruang kelas/ ruang lainnya yang rusak dengan menggunakan panduan yang ada
Laporan/ daftar sekolah yang rusak dan perlu direhabilitasi, dan daftar sekolah baru yang akan dibangun, serta daftar sekolah yang perlu diperbaiki dan/ atau dibangun baru

Panduan untuk monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan sekolah baru/ rehabilitasi sekolah rusak yang menerapkan fasilitas sekolah aman diterbitkan di pusat dan tersedia di daerah dalam hardcopy dan e-copy

Laporan monitoring dan evaluasi terhadap penerapan fasilitas sekolah aman dalam pembangunan sekolah/ ruang kelas baru dan dan rehabilitasi ruang kelas/ ruang lainnya


Mobilisasi Sumberdaya

Adanya bangunan sekolah yang tahan terhadap bencana, terutama gempa bumi












Program-program pemerintah untuk merehabilitasi gedung sekolah atau membangun gedung sekolah baru baik yang didanai dari pemerintah pusat, provinsi dan daerah akan menerapkan prinsip-prinsip bangunan sekolah yang aman.
Bangunan Sekolah yang berkarakteristik sebagai berikut:
  • Struktur bangunan sesuai dengan standar bangunan yang tahan terhadap bencana
  • UKS memiliki ruang tersendiri yang terpisah dari ruang kelas dan pusat sumber bela.
  • Tata letak dan desain kelas yang aman.
  • Desain dan tata letak yang aman untuk penempatan sarana dan prasarana kelas dan sekolah.

Bangunan tahan gempa dan rincian penjelasannya termuat dalam Juknis DAK, APBN Kementerian untuk rehabilitasi gedung sekolah rusak dan pembangunan gedung baru




Adanya kerjasama antara dewan guru sekolah dengan asosiasi profesi guru lainnya di wilayahnya seperti forum MGMP terkait upaya PRB di sekolah. Frekwensi dan jenis kegiatan kerjasama di antara dewan guru sekolah dan asosiasi profesi guru lainnya terkait upaya PRB di sekolah.



1 Gejala musim ini dapat dibagi menjadi 2, yaitu pada saat matahari berada di utara garis khatulistiwa dan di selatan garis khatulistiwa. Untuk daerah lintang tinggi, musim dapat dibagi menjadi 4, yaitu musim gugur, dingin, semi dan panas. Sedangkan di daerah tropis seperti Indonesia hanya ada 2, yaitu musim kemarau dan musim hujan, yang sangat dipengaruhi oleh pola angin monsunal.

2 Berdasarkan Laporan Kajian Nasional Pengurangan Risiko Bencana 2013 yang dikeluarkan oleh BNPB pada tahun 2013.

3 Guidance Notes on Safer School Construction, the Inter-Agency Network for Education in Emergencies (INEE) and the Global Facility for Disaster Reduction and Recovery (GFDRR) at the World Bank, in partnership with the Coalition for Global School Safety and Disaster Prevention Education, the IASC Education Cluster and the International Strategy for Disaster Risk Reduction

4 Pencairan tanah atau likuifaksi tanah (bahasa Inggris: soil liquefaction) adalah suatu perilaku tanah yang mengalami perubahan tiba-tiba dari kondisi padat ke kondisi mencair, atau memiliki sifat seperti air berat. Fenomena ini lebih mungkin terjadi pada tanah berbutiran renggang atau moderat dengan penyaluran air (drainase) yang buruk, seperti pada pasir lanauan (silty sand) atau pasir dan kerikil yang dilapisi atau mengandung lapisan sedimen kedap. Sewaktu terjadi, misalnya pada peristiwa gempa bumi, pasir renggang cenderung untuk mengalami penurunan volume, yang menyebabkan peningkatan tekanan air pori dan, akibatnya, penurunan kekuatan geser (shear strength), yaitu penurunan tegangan efektif.

5 As built drawing atau gambar terlaksana/ terbangun

6 Sloof adalah struktur bangunan yang terletak di atas pondasi bangunan. Sloof berfungsi mendistribusikan beban dari bangunan atas ke pondasi, sehingga beban yang tersalurkan setiap titik di pondasi tersebar merata. Selain itu sloof juga berfungsi sebagai pengunci dinding dan kolom agar tidak roboh apabila terjadi pergerakan tanah. Sebagai tambahan pada sloof, untuk bangunan tahan terhadap gempa maka disempurnakan pada ikatan antara sloof dengan pondasi yaitu dengan memberikan  angker dengan beri diameter 12 mm dengan jarak 1,5 meter. Namun angka ini dapat berubah untuk bangunan yang lebih besar atau bangunan bertingkat banyak. Secara singkat, sloof adalah beton bertulang yang diletakkan secara horisontal di atas pondasi, yang berfungsi mendistribusikan beban dari atas (dinding dan kolom) untuk disalurkan ke pondasi. Sehingga semua beban yang terdistribusikan ke dalam pondasi kurang lebih sama. Selain itu  sloof berfungsi sebagai pengikat antara dinding, kolom dan pondasi.

Toyah S.Pd
Toyah S.Pd Guru Mata Pelajaran Fisika

Posting Komentar untuk "Fasilitas Sekolah"